Kamis, 15 November 2012

Mari sama-sama Kita lestarikan Bahasa Mongondow yang hampir punah

 Seni dan  budaya di Sulawesi utara waktu demi waktu seakan mulai pudar .Pemuda yang seharusnya berperan penting dalam melestarikan budaya-budaya yang ada , kini sudah tidak lagi pernah memikiran aspek-aspek tersebut .Kita tau bersama dengan masuknya globalisasi di Indonesia khususnya di provinsi sulawesi utara banyak , hal-hal penting yang seharusnya menjadi ciri khas kita , kini telah hilang,karena pengaruh budaya barat yang merambat melalui media-media komunikasi yang ada.Kami anak-anak dari Kotamobagu merasa bangga dengan adanya Senibudayakita salah satu Organisasi di sulawesi utara yang turut melestarikan budaya-budaya yang ada.
Salah satu Budaya kita yang hampir punah sekarang ini yaitu bahasa daerah .Saya jadi ingat dengan artikel di situs VOA berjudul Jarang Digunakan, Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah” yang berisi kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah di Indonesia, lantaran jarang digunakan. Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono dalam tulisanya itu memperkirakan di penghujung abad 21, jumlah bahasa daerah akan menyusut, yang semula 746 bahasa daerah, menjadi hanya 75 bahasa daerah saja. Jadi torang skarang musti bilang WAW! Kalau ini benar, maka kondisinya sudah SOS Dong .
Banyak yang bilang, salah satu penyebab makin tidak populernya bahasa daerah adalah alasan urbanisasi dan perkawinan antar etnis.Mereka yang menikah dengan etnis lain dan pindah ke kota, punya kecenderungan bakal meninggalkan bahasa daerahnya dan lebih memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasinya.Contoh saja ,di kampung Mongondow , yang sebenarnya merupakan ciri khas kabupaten bolaang mongondow , kini sudah jarang yang menggunakan bahasa mongondow , di karenakan banyak wanita di kampung tersebut kawin dengan etnis yang berbeda.
Saya sendiri tidak anti perkawinan antar etnis.Justru perkawinan antar etnis menurut saya perlu untuk meningkatkan keberagaman dan pemahaman antar etnis yang di beberapa daerah masih rendah.Namun harusnya perkawinan antar etnis itu tidak mematikan keberadaan bahasa daerah itu sendiri.Harusnya kedua pihak yang menikah justru menyuburkan pemakaian bahasa daerah pada anak-anak mereka.
Coba Kita bayangkan, alangkah indahnya jika sebuah keluarga yang merupakan hasil perkawinan antara etnis Minahasa dan Mongondow yang mengajarkan kedua bahasa daerah pada anak-anaknya . Anak-anak akan punya ketrampilan berbahasa yang lebih kaya. Tidak hanya satu bahasa Indonesia, namun juga bahasa ayah dan ibunya.
Lalu bagaimana agar bahasa daerah tetap lestari dan digunakan di Provinsi kita ini ? Peran seorang ibu sangat jelas dalam mengajarkan ketrampilan berbahasa.Tak usah mencari contoh jauh-jauh, saya sendiri bisa dan mengerti bahasa mongondow karena ibu saya kerap mengajak bercakap dalam bahasa mongondow sejak kecil,  “uyo' aidon nongaan iko”  itu menjadi bahasa sapaan saya setiap pagi mau sekolah yang artinya Anaku sudah makan kamu. Dan itu hanya dilakukan dalam lingkup rumah saja.Jika bertemu dengan orang dari etnis lain, kita selalu menggunakan bahasa manado, yakni bahasa yang mirip-mirip dengan bahasa indonesia sebagai jembatan komunikasi.

Saya dan teman-teman sempat berpikir,apa yang  menyebabkan sampai Banyak anak-anak muda sekarang khusunya di kota kotamobagu banyak yang tidak bisa menggunakan Bahasa Daerah mereka sendiri .Kami sempat menanyakan pada beberapa siswa di  Sekolah ,tentang apa yang membuat banyak kalangan pemuda  pemudi sudah tidak menggunakan Torang Pe Bahasa ini . Dari  68 orang yang Kami tanyakan , 60%  menjawab “Karena Masih banyak kosa kata yang Kami tidak ketahui dan tidak adanya sarana yang bisa kita pakai untuk mencari arti  dari kata-kata bahasa indonesia untuk dirubah ke Bahasa mongondow ”, itu jawaban dari banyak orang yang kami tanyakan.

Memang benar kata mereka Kamus Bahasa Indonesia – Mongondow sekarang sudah jarang ditemukan, jikapun ada hanya disekolah-sekolah saja. Lalu Kami sempat mendiskusikan hal tersebut dengan guru seni kami dan beliau meminjamkan 1 buah kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Mongondow kepada Kami. Berbekal kamus tersebut saya dan teman-teman sekelas saya di bidang  TKJ (Teknologi komputer dan  jaringan) berunding tentang Ide yang dapat kita  kembangkan dengan 1 buah kamus ini,   agar dapat membantu semua orang khususnya anak muda untuk mengartitkan Bahasa Indonesia  kebahasa Mongondow. Saya sempat berpikir tidak mungkin satu buah kamus itu kita photo copy lalu disebar luaskan, apa lagi kondisi kita sekarang masih siswa dan satu kamus iu tebalnya sampai 5 cm , waduh bisa repot dong.
Setelah kami berunding kami mendapat kesimpulan bahwa , dengan kemajuan teknologi sekarang ditambah juga  teknologi smartphone  dan internet sudah mulai banyak digunakan, maka kami mendapat ide untuk membuat Applikasi kamus berbasis berbasis Web. Saat ini kami baru menyelesaikan kamus online berbasis web yang kami selesaikan dalam waktu 2 minggu, itupun masih di upload dihosting gratisan dimana masih menggunakan domain gratisan .Wajar saja kami anak sekolahan, membeli satu domain saja belum punya uang. Kemarin saja baru kena'  suspend  dari pihak hostingan, katanya  applikasi kami memberatkan kinerja server karena realtime akses dari public ( wajar gratisan jadi bandwith limited), jadi kami pindah ke hostingan gratisan yang lain lagi deh.


Untuk yang berbasis web kalian bisa mengaksesnya lewat site ini http://wwww.mongondow.tk Agak mirip-mirip seidikit dengan google translate ;). Kami sangat mengharapkan kerja sama dari kawan-kawan untuk menyebarkan Appliksi online ini ,agar bisa bermafaat, Klo ada donatornya juga itu lebih baik , hehehe.

Kiapa torang nda’ momulai dari skarang? Jika torang pebahasa daerah yang beragam ini punah , khususnya bahasa mongondow ini,  yang rugikan torang sandiri. Provinsi yang indah dari keberagaman suku, budaya dan bahasa ini akan hilang keunikannya,jika salah satu bahasa daerah jo menghilang dari Bumi nyiur Melambai ini. Setuju saja bila bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan, tapi jangan pernah lupakan akar budaya kita masing-masing dan Banggalah dengan bahasa daerah kita masing-masing, karena dengan itu ke-Indonesiaan kita akan semakin tampak.



Sabtu, 03 November 2012

Ciri Khas Dalam Rumah Panggung Adat Minahasa

Rumah Kayu Minahasa - Indonesia mempunyai sumber kayu yang sangat melimpah, tak hayal pada zaman dahulu kala banyak rumah yang dibangun berbahan kayu, salah satu adalah rumah kayu minahasa. Rumah kayu Minahasa yang dikenal dengan sebutan Wale atau Bale.

Ciri khas yang paling menonjol dari rumah kayu minahasa ini adalah Rumah Panggung dengan 16 sampai 18 tiang penyangga. Pada zaman dahulu ada rumah tradisional keluarga besar yang dihuni oleh enam sampai sembilan keluarga. Masing-masing keluarga merupakan rumah tangga tersendiri dan mempunyai dapur atau mengurus ekonomi rumah tangga sendiri.

Namun Kini, jarang dijumpai  rumah kayu minahasa dengan adat ini. Secara garis besar rangakaian rumah kayu minahasa ini terdiri atas emperan (setup), ruang tamu (leloangan), ruang tengah (pores) dan kamar-kamar. Ruang paling depan (setup) berfungsi untuk menerima tamu terutama bila diadakan upacara keluarga, juga tempat makan tamu.

Disamping itu, pada bagian belakang rumah terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai tempat menaruh  alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Di sisi atas rumah atau loteng (soldor) yang berguna sebagai tempat menyimpan hasil panen seperti jagung, padi dan hasil lainnya. Di bagian bawah rumah (kolong) biasanya digunakan untuk gudang tempat menyimpan papan, balok, kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan peliharaan.

Yang unik adalah, rumah kayu di warga di Minahasa tidak beratapkan genteng. Karena folosofi yang dianut adalah tak baik jika hidup di bawah tanah (genteng terbuat dari tanah). Rata-rata rumah mereka beratapkan seng, daun, atau elemen besi lainnya. Mereka beranggapan hanya orang meninggal saja yang bertempat tinggal di bawah tanah. Sekali pun ada yang beratapkan genteng, umumnya rumah tersebut milik kaum pendatang. Meskipun demikian, banyak juga rumah orang Minahasa yang beratapkan seng namun didesain seperti genteng.

Sumber: http://www.rumahkayumanado.com

Tradisi Memindahkan Rumah di Minahasa

Di Kota Manado sampai pada sekitar tahun 1970 an pernah ada suatu tradisi, yakni tradisi memindahkan rumah secara bersama-sama. Namun saat sekarang ini tradisi tersebut telah hilang. Akan tetapi di Kota Amurang Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel) Provinsi Sulawesi Utara, sekitar 80 Km dari Kota Manado, tradisi memindahkan rumah masih di pertahankan.


Foto ini menggambarkan tentang suatu tradisi dari masyarakat Minahasa, khususnya masyarakat di Minahasa Selatan tepatnya di Kelurahan Bitung Kota Amurang, yakni suatu tradisi memindahkan rumah (rumah panggung, rumah pitate, dan rumah bulu).

Tradisi memindahkan rumah, oleh masyarakat Minahasa dikenal dengan sebutan Merawale. Rumah yang dipindahkan itu tanpa harus dibongkar, namun secara utuh digotong secara bersama-sama. Tradisi ini telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minahasa.

Kebersamaan dalam kehidupan sosial di Minahasa, salah satunya diwujudkan dengan tradisi merawale. Baik anak-anak, remaja, pemuda maupun orang tua terlibat dalam tradisi ini tanpa memandangstatus sosial.

Merawale biasanya dikomandoi oleh seseorang yang dituakan dan dianggap berpengalaman agarrumah yang akan dipindahkan dapat diangkat secara lebih mudah.

Merawale juga adalah simbol kepolosan dan rasa kebersamaan masyarakat tanpa rekayasadalam kehidupan sosial di Minahasa. Siapa saja yang terlibat dalam merawale tidak dibayar dengan uang, akan tetapi hanya mendapat ucapanterima kasih dari yang empunya rumah.

Salah satu bentuk ucapanterima kasih diwujudkan dengan diberikan sajian minuman seperti teh manis, kopi, dan air putih; rokok, atau kue seperti kue cucur, onde-onde dan nasi jaha. (Oleh : N. Raymond Frans),-

sumber :  http://rafansdetik.blogdetik.com

Tarian Cakalele Minahasa, Tradisi Perang Leluhur

 - Tari Cakalele ternyata tidak dimiliki oleh masyarakat Ambonsaja, suku Minahasa ternyata juga memiliki budaya tarian perang itu. Tentunya, dengan gaya gerakan dan pakaian yang memiliki khas tersendiri.

Bentuk pakaiannya, dengan menggunakan dasar kain karung goni. Kemudian di seluruh permukaannya dihiasi rumbai-rumbai kain berwarna merah dengan panjang hingga di bawah lutut. Pada kaki, pada bagian betis, dibebat dengan bahan yang sama. Sebagai alas kaki, penari mengenakan sandal khusus yang juga terbuat dari karung goni.

Paling menarik adalah mahkota yang mereka pakai. Berbentuk kepala burung, dengan moncong lancip berwarna kuning. Kemudian di atasnya bulu-bulu yang berasal dari bulu ekor dan sayap ayam jantan. Tapi itu untuk penari bagian prajurit. Sedangkan bagi sang pemimpin, mahkotanya menggunakan bulu dan sayap dari burung elang. “Ini sebagai simbol dari kekuatan sang pemimpin. Termasuk kalung tiga tengkorak yang saya pakai ini,” jelas Odi, penari yang mendapat bagian sebagai pemimpin.

Tiga tengkorak yang bergerai di leher Odi itu merupakan tulang tengkorak dari monyet. Masih menurut Odi, seharusnya tengkorak yang dipakai adalah tengkorak manusia. Tapi zaman sekarang siapa yang mau menyediakan dan menggunakan tengkorak manusia hanya sekadar untuk menari. “Jadi para pemimpin adat Minahasa sepakat menggantinya dengan tengkorak monyet ini,” tandas Odi.

Tak hanya itu, untuk prajurit, mereka dilengkapi dengan tameng kayu dan tombak. Sedangkan pemimpinnya cukup dengan tombak. Kemudian gerakan tarian mereka, terbagi menjadi beberapa bagian. Mulai dari persiapan, maju berhadap-hadapan, hingga saling serang. Kemudian diakhiri dengan saling mundur. Uniknya, sebelum dan sesudah menari, mereka lebih dulu saling memberi penghormatan.

Sebagai iringan, tarian ini cukup menggunakan alat musik sederhana. Sebuah drum kecil yang dipukul bertalu-talu dan berhenti sejenak, setiap sang pemimpin meneriakkan komando.

Menari Cakalele itu sendiri bagi Odi dan rekan-rekannya sudah menjadi pekerjaan. Mereka tergabung dalam sanggar kesenian yang ada di Tondano Timur dan selalu berlaga di depan wisatawan yang datang ke Danau Tondano. “Kalau sedang tak ada wisatawan dan tidak menari, kami biasanya bekerja di ladang atau sawah,” ungkap Deran, salah satu penari lain yang menari sebagai prajurit.

sumber : http://www.uplik.Com

Jumat, 02 November 2012

Marilah Lestarikan Lagu Khas Bolaang Mongondow yang Hampir Punah



Sama seperti daerah lain di Indonesia, Bolaang Mongondow juga mengenal jenis-jenis kesenian sejak dahulu kala. Beberapa diantaranya adalah, seni musik vokal dan instrumental, seni tari, seni sastra, seni rupa. sayangnya, generasi Bolaang Mongondow, sudah mulai hilang dan kadang terdengar.


Seni musik vokal diantaranya Odenon yakni dinyanyikan pada waktu sedang memetik padi (mokoyut), biasanya oleh kaum wanita untuk menghilangkan rasa penat saat bekerja. Odenon juga biasa dinyanyikan sebagai salah satu lagu pada acara aimbu atau pada acara-acara gembira lainnya. Contoh odenon, layugdon iko Tansibi', alai odenon (terbanglah hai burung pisok), alai odenon. Bo lumayug tumonsi-tonsi' (terbang mengedar-edar), Yo pantowai im baloi limagi' (tinjaulah rumah sebelah sini), sing kon tua ing ki mamai adi' (karena disana si jantung hati).

Isi sastranya bersajak dinyanyikan secara solo, lalu disambut oleh orang lain bersama-sama yang merupakan refreinnya, yaitu  alai odenon, yang dapat berarti ber-odenon-lah bersama-sama. Lagu odenon ini dinyanyikan secara sahut menyahut berbalas-balasan. 

Totampit
dinyanyikan oleh orang-orang tua masa lampau untuk mengisahkan tentang perjalanan mereka pada saat pergi ke rantau memasak garam (modapug) atau ketika mereka masuk hutan mencari damar (monalong) dan sebagainya, contoh: Kadok-kadok i Nuangan (burung hutan di Nuangan, motundu’ dalam pongayow (menuntut perjalanan panglima, Kiditoin libuton potoboyan (buihlah tempat pulau laga’, bura’ dongkain pobotoyan (buihlah tempat mendayung).

Bondit biasanya dinyanyikan oleh seorang bolian, yaitu seseorang yang dalam keadaan intrans (kesurupan), dalam acara pengobatan tradisional. Dapat juga dinyanyikan pada acara mogaimbu misalnya dalam aimbu ponondeagaan (inisiasi). Contoh:  Ki landangon I molandang (teruna lincah yang perkasa), Akuoi ing kon tudu ambang (aku di puncak ambang), Abitku ing kede' ing gayang (senjataku pedang kecil), Nokodongog noko ningal (mendengar dan dapat berita), Nokodongog noko ningal (mendengar dan dapat berita), Kon oyu-oyut ing gimbal (sayup bunyi gendang), Inonag bo inontongan (kuturun lalu melihat), Na'anta boki' im bulan (ternyata putri bulan).
Tolibag  lagu gembira, biasanya dinyanyikan dalam acara suka cita antara muda mudi atau pada waktu seseorang sedang menari joke' yang diselubungi selendang oleh para gadis. 

Dapat dinyatakan berbalasan. Dapat pula berarti lagu pujian atau pujaan. Contoh: Koina dolo-dolomea (tadi ketika pagi), Limitu' mako ko na'a (sedang duduk ditempat ini), Kinotaliban im paloma (lewatlah seekor merpati), Bai'ku maya'I onda (putriku kemana pergi), Nogilambung in sutara (memakai baju sutra), (berselubung kain kasa), Simindog mako ko ngara (berdiri di depan pintu), Nokogagar kong gina (hatiku tergila-gila).
Dondong: lagu gembira antara muda mudi. Ada juga yang menyanyikan waktu menidurkan anak. Contoh: Burowdon sindulak bangka' (baliklah perahu tumpangan), A baya'an kon Bintauna' (akan pergi ke Binatuna), Naanta kom bubu' im buta' (ternyata didalam tanah), A burowon dia'bi' maya' (diputar tidak berjalan). 


Yungkagi : dinyanyikan dengan suara sayup karena sedih mengenang seseorang yang dirindukan. Contoh: Akuoi ing koina subu (aku diwaktu subuh), Dinapatmai im pongoibu (hatiku sangat terharu), Polat nolabu'I lua'ku (berlinang air mataku), Nokotanob ko inimu (merindukan kau seorang).


Dete-dete, lagu yang dinyanyikan pada kematian seorang raja. Contoh: Langit lumogod lumentang (langit guruh gemuruh), Sinumobang I utuan (turunlah dari kayangan), Takin ende-endeawan (disertai hujan panas), Kinogapangan I mobangkang (karena kematian yang dipertuan).
Dende' lagu yang menyenangkan hati raja yang sedang bersantap. Contoh: Dika basi'dolandangon (jangan hanya dianggap gampang), Sin dau'tonga'ropakon (karena kayu besar hanya dipatahkan), Dika bsai'lolibogon (jangan hanya main-main), Minangain tonga'lampangon (muara sungai hanya dilangkahi).
Tantak, dinyanyikan pada akhir pelaksanaan suatu acara do'a tertentu untuk menanyakan kepada Ompu Duata apakah ada yang kurang tertib dalam pelaksanaan acara itu, agar terhindar dari sesuatu petaka.

Buyak, dinyanyikan dalam acara aimbu pada pengobatan tradisional monayuk. Biasanya dinyanyikan jauh malam menjelang pagi.
Lolibag, biasanya dinyanyikan sesudah totampit dalam acara aimbu oleh orang-orang tua masa lampau.


Ondo-ondo, sama dengan dende' yang dinyanyikan pada saat raja sedang bersantap. Juga dinyanyikan pada saat menjemput raja yang baru kembali dari perjalanan.


Tangkil, lagu dalam rangkaian lagu-lagu aimbu yang mengandung kiasan atau teka-teki.


Pantung, dilagukan sambil memetik gambus. Pantung termasuk lagu yang berasal dari daerah Melayu yang telah merakyat sehingga tidak terasa bahwa lagu tersebut berasal dari luar daerah. Dilagukan pada acara-acara gembira, biasanya dihadiri muda-mudi sampai semalam suntuk. Banyak mengandung kias bahkan yang lucu sehingga sangat menarik. Bagian akhir pantun yang disebut hayun, misalnya, Laka ule im Bolai (lihatlah di Kera), Moka’an kon toigu (sedang makan jagung), Laka ule im Bobai (lihatlah wanita), Mo ibog ko inimu (suka kepadamu)

Kamis, 01 November 2012

Pengertian Totabuan

Awal abad 20 Bolaang Mongondow, terdiri dari distrik Mongondow (Passi dan Lolayan), Onder distrik Kotabunan, Bolaang dan Dumoga. Pembagian ini dilakukan sejak pemerintah kolonial Belanda menempatkan perwakilannya (Controleur) di daerah ini.

Pada masa itu, masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman [terutama dataran tinggi di distrik Mongondow (Passi dan Lolayan)] selalu membutuhkan garam, ikan dan hasil hutan (damar) untuk kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini biasanya kaum lelakinya meninggalkan desa masuk ke hutan untuk mencari damar, atau menuju daerah pesisir pantai untuk membuat garam (modapug) dan menangkap ikan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, biasanya mereka tinggal agak lama di wilayah pesisir. Selain membuat garam dan menangkap ikan, mereka juga membuat kebun dan menanaminya dengan padi, jagung dan kelapa (tanaman ini sudah dikenal sejak zaman pemerintahan Tadohe yang diperkenalkan oleh bangsa Spanyol sekitar abad ke 17). Tanah yang di tempati inilah yang disebut Totabuan. Bila mereka telah merasa nyaman tinggal di wilayah pesisir ini, biasanya anggota keluarganya akan diboyong ikut bersama menetap di Totabuan. Semakin lama, semakin banyak kepala keluarga yang membawa anggota keluarganya ke tempat baru tersebut, akhirnya mereka mulai membentuk pedukuan baru. Tetapi pedukuan yang baru ini, tetap diawasi oleh pemerintah desa asal mereka, terutama mereka yang telah pindah secara permanen. Pedukuan yang baru ini, tidak membuat Sigi 1), hal ini menunjukkan bahwa mereka masih terikat secara adat dengan desa asal mereka di pedalaman.

Desa-desa yang memiliki Totabuan di daerah pesisir, antara lain :

No. Nama desa asal (Totabuan di)

1. Poyowa Besar (Nuangan)
2. Kobo Kecil (Nuangan)
3. Kobo Besar (Molobog)
4. Kopandakan (Buyat)
5. Otam (Nonapan)
6. Moyag (Motongkad)
7. Pobundayan (Matandoi)
8. Molinow (Tolog dan Kotabunan)
9. Passi (Poigar)
10. Biga (Tombolikat)
11. Motoboi besar (Alot, Oyuod, Matabulu)
12. Poyowa Kecil (Pinolosian)
13. Mongondow (Ayong, Sampaka, Babo)

1) Sigi (podugu), adalah semacam kuil tempat penyembahan pada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) dimana didalamnya tersimpan benda antik (mis:piring tua) yang berasal dari leluhur. Sigi merupakan simbol persatuan desa. Setiap desa ditandai dengan adanya sebuah Sigi. Pada waktu upacara monibi (upacara pengobatan desa, penyembahan kepada roh leluhur atau pengorbanan), seluruh anggota masyarakat desa turut serta. Mereka menyembelih babi, kambing betina dan ayam sebagai bentuk persembahannya dimana darahnya dipercikkan pada tangga sigi. Sigi juga berfungsi sebagai tempat penghapusan dosa bagi para pelanggar adat untuk menghilangkan aibnya.

Mengenal Sayur Daun Gedi(YONDOK)

Daun Gedi (Sayor Yondok) memiliki nama latin Hibiscus Manihot L. di negara lain juga daun gedi disebut (Philipina: Lagikuway, Thailand: Po fai, Inggris: Edible hibiscus).
Daun Gedi merupakan sayur khas di Sulawesi Utara khususnya Bolaang Mongondow karena orang Mongondow pasti tidak akan pernah lupa pada rasa nikmat masakan sayur gedi yang dikenal dengan Sayor Yondok. Dalam pengolahan sayur ini banyak resep tergantung selera masing-masing peminat, boleh memasak dengan santan atau cuma di rebus biasa dengan tambahan bumbu khas lainnya. Namun sayur gedi ini identik dengan dimasak santan ditambah rebung (oyobung), ubi talas (bete)  dan bumbu lain, kemudian ditambahkan lagi dengan ikan asin (ikang garam) sebagai teman makan sayur yondok.
Bagi orang asli Manado atau Bolaang Mongondow makan Bubur Manado (tinutuan) tidak lengkap jika tidak ditambahkan daun gedi ini sebagai campuran. Daun gedi mempunyai fungsi sebagai penambah rasa gurih serta mengentalkan. Selain lezat, daun gedi juga kaya akan vitamin A, zat besi dan serat yang baik untuk saluran pencernaan. Kolagen terkandung di dalam daun ini juga bermanfaat antioksidan dan menjaga kesehatan kulit. Mungkin karena banyak mengandung serat sehingga menyerap kolesterol dan lemak. Sehingga banyak orang berpendapat bahwa sayur ini dapat membuat orang langsing dan membantu menurunkan kadar kolesterol dan hipertensi. Namun belum ada penelitian khusus tentang hal ini.  Karena daunnya banyak mengandung banyak zat kolagen yang bersifat antioksidan, maka berguna untuk merawat kesehatan kulit dan melancarkan peredaran darah. Konon kabarnya, pada suatu masa, Pak Harto (Almarhum) senang merawat sendiri tanaman ini di rumah kediamannya di Cendana, karena beliau suka makan rebusan daun itu guna pemulihan dan perawatan kesehatannya di masa tua.


Saat ini daun gedi susah dijumpai, padahal tanaman ini sangat mudah tumbuh dan diperbanyak. Cukup stek batang dan tanam di media tanah yang gembur pasti akan tumbuh subur. Tinggi tanaman bisa mencapai dua meter dan jika tanahnya cocok akan sangat rimbun dengan daun. Daunnya hijau dan sepintas mirip daun singkong atau mariyuana, karena daunnya berbentuk 5 jari mirip daun singkong atau mariyuana.
Orang Mongondow, terutama yang ada diperantauan sering menanam daun gedi ini di pekarangan rumah atau pot agar sewaktu-waktu bila ingin memasak sudah tersedia. Memang rasa daun gedi sangat kental di lidah orang Mongondow sehingga kemana saja selalu terbayang...sayur yondok. Bukan cuma orang Mongondow saja yang terkenang dengan daun gedi ini, menurut cerita kalau ada orang luar yang pernah makan sayur daun gedi ini pasti tidak akan pernah lupa rasanya dan akan selalu mencari dimana tempat yang ada daun gedi ini. Percaya atau tidak? Wallahualam bisawab....


Berbagai Pakaian Adat Suku Mongondow

Pada masa raja-raja (Kolano) sejak raja pertama hingga raja ke-6 yaitu Mokoagow, biasanya disebut
 Datu Ireatan, karena pakaian raja ketika itu amat banyak  perhiasannya. Bahan pakaian dibuat dari kulit kayu (kayu lanut).Pakaian Raja dalam perkembangan kemudian adalah :Warna merah melambangkan kewibawaan dan keberanian raja sebagai pucuk  pimpinan pemerintahan dan sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan yang diperolehdari rakyat secara bulat kharismatis di seluruh kerajaan. Pada bagian dada dihiasi 3susun rantai emas dan kancing emas yang melukiskan keagungan raja. Pengikatkepala bercabang dua menandakan kepemimpinan yang membedakannya dengan ikatkepala bagi pejabat-pejabat pemerintah lainnya. Selempang kuning keemasan sebagaitanda keagungan raja yang diselempangkan dari bahu kiri ke pinggang kanan. Pada pinggang yang diikat dengan kain kuning keemasan, diselipkan keris dan tangan kananmemegang tongkat kebesaran (Ki Sinungkudan). Bahan pakaian sesuai aslinya adalahhasil tenun (inabol), namun alat tenun kini tidak ada lagi. Pakaian raja ini digunakansejak adanya hubungan persahabatan dengan pedagang dari luar, sehingga bentuk  pakaian sedah banyak persamaan dengan daerah lain.


1. Pakaian Permaisuri 

 Baju asli disebut salu' dari jenis kain berhias emas, pada ujung lengan baju kiri dankanan terdapat kancing emas masing-masing sebanyak 9 buah. Kain pelekat songket yang ditenun sendiri bila menurut aslinya. Pada pergelangan kanan dan kiri masing-masing dipakaikan gelang emas yang disebut pateda. Memakai selendang yang disebut aluang . Payung kerajaan warna kuning berhias emas menyatakan keagunganraja dan permaisuri (Datu' bo Boki'). Pemegang payung raja memakai baju adat denganikat kepala biasa, pada pinggang diikatkan songket yang disebut  pomerus sebagai penghormatan kepada pejabat yang lebih tinggi.

2. Pakaian Gogugu atau Sadaha tompunuon

Gogugu adalah pelaksana utama pemerintahan mewakili raja, sebagai penghubung rajadengan aparat pemerintahan lainnya sampai kepada rakyat, demikian juga sebaliknya.Dalam kerajaan hanya terdapat seorang gogugu. Bentuk baju gogugu sama denganraja, berwarna kuning sebagai lambang kebesaran dan keagungan, sesuai dengantugasnya sebagai pelaksana utama pemerintahan membawa rakyat pada kemakmuranan kesejahteraan yang di Bolaang Mongondow ditandai dngan padi dan emas yangmenguning. Selempang dan ikat pinggang sama, perbedaan pakaian raja dan goguguhanya pada ikat kepala. Ikat kepala raja berbentuk tanduk dua yang condong kekanan,sedangkan ikat kepala gogugu hanya satu tanduk.

3. Pakaian Panggulu

Seorang panggulu mengepalai pemerintahan dalam satu distrik (setingkat kecamatan).Pakaian panggulu berwarna jingga untuk membedakan dengan pakaian raja dangogugu, tapi bentuknya sama. Beberapa variasi seperti pici berhias perak sudahmerupakan pengaruh luar.

4. Pakaian kimalaha atau bobato (kepala desa)

Bentuk pakaian sama dengan raja. Warna polos menurut selera pemakainya. Ikatkepala biasa. Pada pinggang diikatkan  pomerus sebagai penghormatan kepada pejabatyang lebih tinggi. Kepala desa dapat juga memakai tongkat, sehingga dalam jabatannya biasa juga di gelar
 Ki  Sungkudan asal kata tungkud = tongkat.

5. Pakaian guhanga (kepala adat)

Baju  salu' pris berwarna polos bebas menurut selera pemakainya. Celana biasa samadengan warna baju. Memakai kain pomerus pada pinggang. Ikat kepala bercabang bila menhadiri upacara kebesaran, miaslnya menjemput tamu agung, atau pada  penobatan raja, sedang bentuk biasa bila menghadiri upacara di desa atau waktumenyelesaikan maskawin.

6. Pakaian pesta untuk petani pria

Bentuk baju dan celana sama dengan pakaian guhanga. Ikat kepala biasa tidak  bercabang. Tidak memakai
 Pomerus
.
7. Pakaian pesta untuk petani wanita

Warna baju bebas menurut selera. Baju  salu'  panjangnya sampai dibawah lutut.Selendang biasa. Kain pelekat biasa. Pada pergelangan tangan searusnya ada gelangdari tiram yang disebut bolusu.
8. Pakaian kerja petani pria
Baju tidak berlengan yang disebut
 paka'
dari kain tenunan asli namun kini digantidengan kain strep yang sejenis dengan motif tenunan asli. Celana batik dasar hitamyang banyak persamaan motifnya dengan motif tenunan asli. Ikat kepala bentuk biasatenunan asli tapi kini sudah diganti dengan batik.

9.Pakaian kerja petani wanita

Kebaycit  biasa, lengan baju disinsingkan. Memakai kudung (aluang) diatas kepalasebagai peindung dari panas matahari. Kain pelekat biasanya agak tinggi hingga betis.Biasanya ibu-ibu menyandang bakul (
kompe'
) tempat mengisi sirih pinang.

10.Pakaian nelayan pria

Sama dengan pakaian petani pria, tetapi memakai toyung (tolu). Pendududk asli yangtinggal di pedalaman, pokok pencaharian utama adalah bertani, berburu, sedangkanyang tinggal di pesisisr pantai adalah nelayan.

11. Pakaian wanita bukan pengantin

 Baju salu' warna polos bebas, pada lengan baju kiri dan kanan berkancing 5 sampai 7 buah. Kain pelekat biasa atau pelekat songket. Memakai selendang (aluang). Bagiyang mampu dapat memakai gelang emas atau perak (pateda) atau gelang dari lokan(bolusu).

12. Pakaian pengantin pria

Baju baniang warna menurut selera pemakai. Celana biasa sama warna dengan baju.Ikat kepala pengantin dari golongan bangsawan atau putra seorang pejabat boleh

JAS MERAH BOLAANG MONGONDOW


Tepat 23 Maret 2012 kemarin Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara merayakan HUTnya ke-53 yang berlangsung cukup khidmat, meriah, aman dan damai dalam kebersamaan (Insya Allah..) dibanding setahun lalu yang diwarnai kericuhan, air mata dan darah (kontroversi hasil Pilkada 2006).



Jum’at pagi yang cerah itu…. di beberapa lapangan di atas tanah Totabuan berkumpul berbagai kalangan masyarakat yang mengikuti upacara dengan khidmat laiknya upacara tujuh belas agustus-an (semoga banyak dari mereka yang mengetahui dan memahami budaya serta asal-usul tanah adat warisan leluhur tempat mereka berpijak). Masa lalu bukan untuk ditinggalkan tetapi untuk dijadikan pelajaran dalam setiap keputusan melangkah ke masa depan. Bahwa generasi muda bukan berarti harus meninggalkan masa lalu, melainkan menghargai perjuangan terdahulu. Kata Bung Karno : “JAS MERAH!” JAngan Sekali-kali MElupakan sejarAH!



Sebagai awal, di bawah ini terpapar silsilah keturunan manusia pertama di tanah Bolaang Mongondow (menurut legenda rakyat Bolaang Mongondow) yang diringkas dan dikemas dalam bentuk skema :

Keterangan :     

X   =  Menikah

 l   =  Menghasilkan


















Pada jaman dahulu, perkembangan kelompok manusia yang masih tersebar di daerah ini berlaku hukum, siapa yang kuat, cekatan, dan yang paling berani menghadapi segala tantangan dan disegani, dialah yang terplih sebagai pimpinan yang berani dan perkasa yang disebut BOGANI. Seorang bogani biasanya dibantu oleh beberapa orang sesuai formasi yang dibutuhkan. Perkembangan lebih lanjut dengan mulai adanya wilayah kekuasaan pemukiman tempat kelahiran dan kelompok di bawah pimpinan masing-masing biasanya terjadi sengketa batas rintisan yang diistilahkan dengan TOTABUAN.



Melalui pengalaman dengan adu kekuatan antara bogani dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, hanya membawa bencana kehidupan masyarakat tumbuh sistem pemilihan pimpinan secara demokrasi. Bahwa untuk memilih pimpinan berlaku “singok in lipu molantud”, pengertiannya bahwa orang banyak (Lipu = Desa) dalam suatu pendapat, adalah keputusan yang tertinggi. Sejak itu kecakapan seorang pimpinan diberlakukan istilah PUNU sebagai BOGANI MADYA dan menjelma gelar PUNU MOLANTUD sebagai tingkat BOGANI UTAMA menjadi DATU atau RAJA.



Di antara masa Datu’ Binangkang dan Datu’ Cornelis. J. Manoppo, ada beberapa raja yang juga turut memimpin di antaranya :



1.       Raja ke XI             : Salomon Manoppo (1735-1748)

2.       Raja ke XV                       : Manuel Manoppo (1779-1819)

3.       Raja ke XVIII                     : Jacobus Manuel Manoppo (1820)

4.       Raja ke XIX                       : Adrianus Cornelis Manoppo (1859-1862)

5.       Raja ke XX                        : Johanes Manuel Manoppo (1862-1880)

6.       Raja ke XXI                       : Abraham Sugeha atau Datu’ Pinonigad (1880-1893)

Nama aslinya Andi Panungkelan Lattae yang ayahnya seorang bangsawan Bugis yaitu Andi

  Latahe.

7.       Raja Riedel Manoppo (1893-1902)

8.       Datu Cornelis Manoppo (1901-1927)

9.       Raja Lauren Corelis Manoppo (1927-1938)


Pada masa dahulu juga Totabuan terdiri atas beberapa kerajaan yang dipimpin seorang raja. Lima kerajaan berpemerintahan sendiri-sendiri itu terdiri atas :

1.       Kerajaan Bolaang Mongondow

         Dipimpin Raja Riedel Manuel Manoppo yang berkedudukan di Bolaang Pantai Utara (1893-1902) dan Raja Datu Cornelis Manoppo, langsung ditetapkan pemerintah Belanda di dataran tinggi Mongondow dan membangun Kota Baru yang menjadi Kotamobagu sekarang (1901-1927).

2.       Kerajaan Bolaang Uki

Dipimpin Raja Willem Van Gobel (1872-1901) yang berkeduukan di Walugu Pantai Utara dengan penggantinya Raja Hasan Iskandar Van Gobel (1901-1941) pindah kotanya ke Molibagu 1906

3.       Kerajaan Bintauna :

Dipimpin Raja Muhammad Taroedjoe Datoensolang (1895-1948) dengan beberapa kali berpindah ibu kotanya: Panayo, Minanga, dan Pimpi di Pantai Utara.

4.       Kerajaan Bolaang Itang :


 Dipimpin Raja Bondji Pontoh (1891-1907) yang berkedudukan bu kotanya di Bolaang Itang. Penggantinya Raja Ram Suit Pontoh (1907-1950) dimana pada tahun 1910 pada saat mangkatnya Raja Antugia Korompot dari Kerajaan Kaidipang, ibu kotanya Buroko terjadi perbedaan pendapat tentang siapa keluarganya Antugia Korompot, berhak menggantikannya.

Tercapai kesepakatan berdasarkan sidang gabungan, maka dua kerajaan bergabung menjadi Kerajaan Kaidipang Besar dengan Raja I Ram Suit Pontoh (1911-1950).

5.       Kerajaan Kaidipang :

Dipimpin Raja Antugia Korompot (1897-1910) yang berkedudukan d Buroko, pantai Utara berbatasan dengan Kerajaan Atinggola di Gorontalo.


Sebagian besar dari raja-raja tersebut sangat anti kolonial, namun ada juga beberapa yang menjadi pengkhianat. Hukum adat di Totabuan dahulu berlaku yaitu agama raja adalah agama rakyat dan hal tersebut berlaku sejak jaman pemerintahan Datu’ Binangkang. Kehadiran Raja Loloda’ Mokoagouw (Datu’ Binangkang) yang sebelumnya telah memeluk agama Islam hasil didikan guru mengaji dan ilmu Al Qur’an keluaran Batu Da’a Suwawa Gorontalo sekitar 1580.


Rakyat Mongondow menganut suatu prinsip adat yang mewajibkan suatu ikatan kekerabatan yang disebut “POGOGUTAT”. Prinsip adat Pogogutat dari segi positifnya melahirkan kebiasaan tolong menolong dalam suka maupun duka dengan motto :

-                      Mototabian                       =  Saling sayang menyayangi

-                      Mototompiaan                   =  Saling nasehat menasehati

-                      Mototanoban                    =  Saling ingat mengingatkan

Kemudian membuahkan : persatuan tangguh kebersamaan dalam menghadapi kaum penjajah.



Di jaman sekarang, dalam setiap perayaan (seperti pernikahan, aqiqah, dll) maupun yang bukan perayaan seperi kedukaan, budaya pogogutat ini masih terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow. Bukan lagi bermaksud untuk menghadapi kaum penjajah, tetapi cenderung kepada kebiasaan untuk memupuk rasa persaudaraan.

Pogogutat yang dimaksud di sini misalnya jika salah satu keluarga mengadakan pernikahan atau aqiqah, maka malam hari sebelum hari “H” nya seluruh penduduk yang berada di kelurahan atau desa berkumpul dan mengantarkan berbagai bantuan dalam bentuk materi maupun bahan pokok makanan secara sukarela kepada pihak keluarga yang mengadakan perayaan, menurut kemampuan mereka masing-masing. Jika ada penduduk yang tidak mampu, maka tidak diwajibkan. Berikutnya, jika ada keluarga lain yang hendak merayakan sesuatu maka prinsip pogogutat ini pun kembali berlaku. Secara tidak langsung maka kebiasaan seperti ini cukup meringankan beban pihak keluarga penyelenggara (asal pintar mengkalkulasi saja, biar yang terjadi bukan sebaliknya). Budaya pogogutat ini juga sebagai bagian dari prinsip ekonomi bersama dan semangat gotong royong berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945.