Kamis, 15 November 2012

Mari sama-sama Kita lestarikan Bahasa Mongondow yang hampir punah

 Seni dan  budaya di Sulawesi utara waktu demi waktu seakan mulai pudar .Pemuda yang seharusnya berperan penting dalam melestarikan budaya-budaya yang ada , kini sudah tidak lagi pernah memikiran aspek-aspek tersebut .Kita tau bersama dengan masuknya globalisasi di Indonesia khususnya di provinsi sulawesi utara banyak , hal-hal penting yang seharusnya menjadi ciri khas kita , kini telah hilang,karena pengaruh budaya barat yang merambat melalui media-media komunikasi yang ada.Kami anak-anak dari Kotamobagu merasa bangga dengan adanya Senibudayakita salah satu Organisasi di sulawesi utara yang turut melestarikan budaya-budaya yang ada.
Salah satu Budaya kita yang hampir punah sekarang ini yaitu bahasa daerah .Saya jadi ingat dengan artikel di situs VOA berjudul Jarang Digunakan, Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Terancam Punah” yang berisi kekhawatiran akan punahnya bahasa daerah di Indonesia, lantaran jarang digunakan. Kepala Bidang Peningkatan dan Pengendalian Bahasa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono dalam tulisanya itu memperkirakan di penghujung abad 21, jumlah bahasa daerah akan menyusut, yang semula 746 bahasa daerah, menjadi hanya 75 bahasa daerah saja. Jadi torang skarang musti bilang WAW! Kalau ini benar, maka kondisinya sudah SOS Dong .
Banyak yang bilang, salah satu penyebab makin tidak populernya bahasa daerah adalah alasan urbanisasi dan perkawinan antar etnis.Mereka yang menikah dengan etnis lain dan pindah ke kota, punya kecenderungan bakal meninggalkan bahasa daerahnya dan lebih memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasinya.Contoh saja ,di kampung Mongondow , yang sebenarnya merupakan ciri khas kabupaten bolaang mongondow , kini sudah jarang yang menggunakan bahasa mongondow , di karenakan banyak wanita di kampung tersebut kawin dengan etnis yang berbeda.
Saya sendiri tidak anti perkawinan antar etnis.Justru perkawinan antar etnis menurut saya perlu untuk meningkatkan keberagaman dan pemahaman antar etnis yang di beberapa daerah masih rendah.Namun harusnya perkawinan antar etnis itu tidak mematikan keberadaan bahasa daerah itu sendiri.Harusnya kedua pihak yang menikah justru menyuburkan pemakaian bahasa daerah pada anak-anak mereka.
Coba Kita bayangkan, alangkah indahnya jika sebuah keluarga yang merupakan hasil perkawinan antara etnis Minahasa dan Mongondow yang mengajarkan kedua bahasa daerah pada anak-anaknya . Anak-anak akan punya ketrampilan berbahasa yang lebih kaya. Tidak hanya satu bahasa Indonesia, namun juga bahasa ayah dan ibunya.
Lalu bagaimana agar bahasa daerah tetap lestari dan digunakan di Provinsi kita ini ? Peran seorang ibu sangat jelas dalam mengajarkan ketrampilan berbahasa.Tak usah mencari contoh jauh-jauh, saya sendiri bisa dan mengerti bahasa mongondow karena ibu saya kerap mengajak bercakap dalam bahasa mongondow sejak kecil,  “uyo' aidon nongaan iko”  itu menjadi bahasa sapaan saya setiap pagi mau sekolah yang artinya Anaku sudah makan kamu. Dan itu hanya dilakukan dalam lingkup rumah saja.Jika bertemu dengan orang dari etnis lain, kita selalu menggunakan bahasa manado, yakni bahasa yang mirip-mirip dengan bahasa indonesia sebagai jembatan komunikasi.

Saya dan teman-teman sempat berpikir,apa yang  menyebabkan sampai Banyak anak-anak muda sekarang khusunya di kota kotamobagu banyak yang tidak bisa menggunakan Bahasa Daerah mereka sendiri .Kami sempat menanyakan pada beberapa siswa di  Sekolah ,tentang apa yang membuat banyak kalangan pemuda  pemudi sudah tidak menggunakan Torang Pe Bahasa ini . Dari  68 orang yang Kami tanyakan , 60%  menjawab “Karena Masih banyak kosa kata yang Kami tidak ketahui dan tidak adanya sarana yang bisa kita pakai untuk mencari arti  dari kata-kata bahasa indonesia untuk dirubah ke Bahasa mongondow ”, itu jawaban dari banyak orang yang kami tanyakan.

Memang benar kata mereka Kamus Bahasa Indonesia – Mongondow sekarang sudah jarang ditemukan, jikapun ada hanya disekolah-sekolah saja. Lalu Kami sempat mendiskusikan hal tersebut dengan guru seni kami dan beliau meminjamkan 1 buah kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Mongondow kepada Kami. Berbekal kamus tersebut saya dan teman-teman sekelas saya di bidang  TKJ (Teknologi komputer dan  jaringan) berunding tentang Ide yang dapat kita  kembangkan dengan 1 buah kamus ini,   agar dapat membantu semua orang khususnya anak muda untuk mengartitkan Bahasa Indonesia  kebahasa Mongondow. Saya sempat berpikir tidak mungkin satu buah kamus itu kita photo copy lalu disebar luaskan, apa lagi kondisi kita sekarang masih siswa dan satu kamus iu tebalnya sampai 5 cm , waduh bisa repot dong.
Setelah kami berunding kami mendapat kesimpulan bahwa , dengan kemajuan teknologi sekarang ditambah juga  teknologi smartphone  dan internet sudah mulai banyak digunakan, maka kami mendapat ide untuk membuat Applikasi kamus berbasis berbasis Web. Saat ini kami baru menyelesaikan kamus online berbasis web yang kami selesaikan dalam waktu 2 minggu, itupun masih di upload dihosting gratisan dimana masih menggunakan domain gratisan .Wajar saja kami anak sekolahan, membeli satu domain saja belum punya uang. Kemarin saja baru kena'  suspend  dari pihak hostingan, katanya  applikasi kami memberatkan kinerja server karena realtime akses dari public ( wajar gratisan jadi bandwith limited), jadi kami pindah ke hostingan gratisan yang lain lagi deh.


Untuk yang berbasis web kalian bisa mengaksesnya lewat site ini http://wwww.mongondow.tk Agak mirip-mirip seidikit dengan google translate ;). Kami sangat mengharapkan kerja sama dari kawan-kawan untuk menyebarkan Appliksi online ini ,agar bisa bermafaat, Klo ada donatornya juga itu lebih baik , hehehe.

Kiapa torang nda’ momulai dari skarang? Jika torang pebahasa daerah yang beragam ini punah , khususnya bahasa mongondow ini,  yang rugikan torang sandiri. Provinsi yang indah dari keberagaman suku, budaya dan bahasa ini akan hilang keunikannya,jika salah satu bahasa daerah jo menghilang dari Bumi nyiur Melambai ini. Setuju saja bila bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan, tapi jangan pernah lupakan akar budaya kita masing-masing dan Banggalah dengan bahasa daerah kita masing-masing, karena dengan itu ke-Indonesiaan kita akan semakin tampak.



Sabtu, 03 November 2012

Ciri Khas Dalam Rumah Panggung Adat Minahasa

Rumah Kayu Minahasa - Indonesia mempunyai sumber kayu yang sangat melimpah, tak hayal pada zaman dahulu kala banyak rumah yang dibangun berbahan kayu, salah satu adalah rumah kayu minahasa. Rumah kayu Minahasa yang dikenal dengan sebutan Wale atau Bale.

Ciri khas yang paling menonjol dari rumah kayu minahasa ini adalah Rumah Panggung dengan 16 sampai 18 tiang penyangga. Pada zaman dahulu ada rumah tradisional keluarga besar yang dihuni oleh enam sampai sembilan keluarga. Masing-masing keluarga merupakan rumah tangga tersendiri dan mempunyai dapur atau mengurus ekonomi rumah tangga sendiri.

Namun Kini, jarang dijumpai  rumah kayu minahasa dengan adat ini. Secara garis besar rangakaian rumah kayu minahasa ini terdiri atas emperan (setup), ruang tamu (leloangan), ruang tengah (pores) dan kamar-kamar. Ruang paling depan (setup) berfungsi untuk menerima tamu terutama bila diadakan upacara keluarga, juga tempat makan tamu.

Disamping itu, pada bagian belakang rumah terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai tempat menaruh  alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Di sisi atas rumah atau loteng (soldor) yang berguna sebagai tempat menyimpan hasil panen seperti jagung, padi dan hasil lainnya. Di bagian bawah rumah (kolong) biasanya digunakan untuk gudang tempat menyimpan papan, balok, kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan peliharaan.

Yang unik adalah, rumah kayu di warga di Minahasa tidak beratapkan genteng. Karena folosofi yang dianut adalah tak baik jika hidup di bawah tanah (genteng terbuat dari tanah). Rata-rata rumah mereka beratapkan seng, daun, atau elemen besi lainnya. Mereka beranggapan hanya orang meninggal saja yang bertempat tinggal di bawah tanah. Sekali pun ada yang beratapkan genteng, umumnya rumah tersebut milik kaum pendatang. Meskipun demikian, banyak juga rumah orang Minahasa yang beratapkan seng namun didesain seperti genteng.

Sumber: http://www.rumahkayumanado.com

Tradisi Memindahkan Rumah di Minahasa

Di Kota Manado sampai pada sekitar tahun 1970 an pernah ada suatu tradisi, yakni tradisi memindahkan rumah secara bersama-sama. Namun saat sekarang ini tradisi tersebut telah hilang. Akan tetapi di Kota Amurang Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel) Provinsi Sulawesi Utara, sekitar 80 Km dari Kota Manado, tradisi memindahkan rumah masih di pertahankan.


Foto ini menggambarkan tentang suatu tradisi dari masyarakat Minahasa, khususnya masyarakat di Minahasa Selatan tepatnya di Kelurahan Bitung Kota Amurang, yakni suatu tradisi memindahkan rumah (rumah panggung, rumah pitate, dan rumah bulu).

Tradisi memindahkan rumah, oleh masyarakat Minahasa dikenal dengan sebutan Merawale. Rumah yang dipindahkan itu tanpa harus dibongkar, namun secara utuh digotong secara bersama-sama. Tradisi ini telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minahasa.

Kebersamaan dalam kehidupan sosial di Minahasa, salah satunya diwujudkan dengan tradisi merawale. Baik anak-anak, remaja, pemuda maupun orang tua terlibat dalam tradisi ini tanpa memandangstatus sosial.

Merawale biasanya dikomandoi oleh seseorang yang dituakan dan dianggap berpengalaman agarrumah yang akan dipindahkan dapat diangkat secara lebih mudah.

Merawale juga adalah simbol kepolosan dan rasa kebersamaan masyarakat tanpa rekayasadalam kehidupan sosial di Minahasa. Siapa saja yang terlibat dalam merawale tidak dibayar dengan uang, akan tetapi hanya mendapat ucapanterima kasih dari yang empunya rumah.

Salah satu bentuk ucapanterima kasih diwujudkan dengan diberikan sajian minuman seperti teh manis, kopi, dan air putih; rokok, atau kue seperti kue cucur, onde-onde dan nasi jaha. (Oleh : N. Raymond Frans),-

sumber :  http://rafansdetik.blogdetik.com

Tarian Cakalele Minahasa, Tradisi Perang Leluhur

 - Tari Cakalele ternyata tidak dimiliki oleh masyarakat Ambonsaja, suku Minahasa ternyata juga memiliki budaya tarian perang itu. Tentunya, dengan gaya gerakan dan pakaian yang memiliki khas tersendiri.

Bentuk pakaiannya, dengan menggunakan dasar kain karung goni. Kemudian di seluruh permukaannya dihiasi rumbai-rumbai kain berwarna merah dengan panjang hingga di bawah lutut. Pada kaki, pada bagian betis, dibebat dengan bahan yang sama. Sebagai alas kaki, penari mengenakan sandal khusus yang juga terbuat dari karung goni.

Paling menarik adalah mahkota yang mereka pakai. Berbentuk kepala burung, dengan moncong lancip berwarna kuning. Kemudian di atasnya bulu-bulu yang berasal dari bulu ekor dan sayap ayam jantan. Tapi itu untuk penari bagian prajurit. Sedangkan bagi sang pemimpin, mahkotanya menggunakan bulu dan sayap dari burung elang. “Ini sebagai simbol dari kekuatan sang pemimpin. Termasuk kalung tiga tengkorak yang saya pakai ini,” jelas Odi, penari yang mendapat bagian sebagai pemimpin.

Tiga tengkorak yang bergerai di leher Odi itu merupakan tulang tengkorak dari monyet. Masih menurut Odi, seharusnya tengkorak yang dipakai adalah tengkorak manusia. Tapi zaman sekarang siapa yang mau menyediakan dan menggunakan tengkorak manusia hanya sekadar untuk menari. “Jadi para pemimpin adat Minahasa sepakat menggantinya dengan tengkorak monyet ini,” tandas Odi.

Tak hanya itu, untuk prajurit, mereka dilengkapi dengan tameng kayu dan tombak. Sedangkan pemimpinnya cukup dengan tombak. Kemudian gerakan tarian mereka, terbagi menjadi beberapa bagian. Mulai dari persiapan, maju berhadap-hadapan, hingga saling serang. Kemudian diakhiri dengan saling mundur. Uniknya, sebelum dan sesudah menari, mereka lebih dulu saling memberi penghormatan.

Sebagai iringan, tarian ini cukup menggunakan alat musik sederhana. Sebuah drum kecil yang dipukul bertalu-talu dan berhenti sejenak, setiap sang pemimpin meneriakkan komando.

Menari Cakalele itu sendiri bagi Odi dan rekan-rekannya sudah menjadi pekerjaan. Mereka tergabung dalam sanggar kesenian yang ada di Tondano Timur dan selalu berlaga di depan wisatawan yang datang ke Danau Tondano. “Kalau sedang tak ada wisatawan dan tidak menari, kami biasanya bekerja di ladang atau sawah,” ungkap Deran, salah satu penari lain yang menari sebagai prajurit.

sumber : http://www.uplik.Com

Jumat, 02 November 2012

Marilah Lestarikan Lagu Khas Bolaang Mongondow yang Hampir Punah



Sama seperti daerah lain di Indonesia, Bolaang Mongondow juga mengenal jenis-jenis kesenian sejak dahulu kala. Beberapa diantaranya adalah, seni musik vokal dan instrumental, seni tari, seni sastra, seni rupa. sayangnya, generasi Bolaang Mongondow, sudah mulai hilang dan kadang terdengar.


Seni musik vokal diantaranya Odenon yakni dinyanyikan pada waktu sedang memetik padi (mokoyut), biasanya oleh kaum wanita untuk menghilangkan rasa penat saat bekerja. Odenon juga biasa dinyanyikan sebagai salah satu lagu pada acara aimbu atau pada acara-acara gembira lainnya. Contoh odenon, layugdon iko Tansibi', alai odenon (terbanglah hai burung pisok), alai odenon. Bo lumayug tumonsi-tonsi' (terbang mengedar-edar), Yo pantowai im baloi limagi' (tinjaulah rumah sebelah sini), sing kon tua ing ki mamai adi' (karena disana si jantung hati).

Isi sastranya bersajak dinyanyikan secara solo, lalu disambut oleh orang lain bersama-sama yang merupakan refreinnya, yaitu  alai odenon, yang dapat berarti ber-odenon-lah bersama-sama. Lagu odenon ini dinyanyikan secara sahut menyahut berbalas-balasan. 

Totampit
dinyanyikan oleh orang-orang tua masa lampau untuk mengisahkan tentang perjalanan mereka pada saat pergi ke rantau memasak garam (modapug) atau ketika mereka masuk hutan mencari damar (monalong) dan sebagainya, contoh: Kadok-kadok i Nuangan (burung hutan di Nuangan, motundu’ dalam pongayow (menuntut perjalanan panglima, Kiditoin libuton potoboyan (buihlah tempat pulau laga’, bura’ dongkain pobotoyan (buihlah tempat mendayung).

Bondit biasanya dinyanyikan oleh seorang bolian, yaitu seseorang yang dalam keadaan intrans (kesurupan), dalam acara pengobatan tradisional. Dapat juga dinyanyikan pada acara mogaimbu misalnya dalam aimbu ponondeagaan (inisiasi). Contoh:  Ki landangon I molandang (teruna lincah yang perkasa), Akuoi ing kon tudu ambang (aku di puncak ambang), Abitku ing kede' ing gayang (senjataku pedang kecil), Nokodongog noko ningal (mendengar dan dapat berita), Nokodongog noko ningal (mendengar dan dapat berita), Kon oyu-oyut ing gimbal (sayup bunyi gendang), Inonag bo inontongan (kuturun lalu melihat), Na'anta boki' im bulan (ternyata putri bulan).
Tolibag  lagu gembira, biasanya dinyanyikan dalam acara suka cita antara muda mudi atau pada waktu seseorang sedang menari joke' yang diselubungi selendang oleh para gadis. 

Dapat dinyatakan berbalasan. Dapat pula berarti lagu pujian atau pujaan. Contoh: Koina dolo-dolomea (tadi ketika pagi), Limitu' mako ko na'a (sedang duduk ditempat ini), Kinotaliban im paloma (lewatlah seekor merpati), Bai'ku maya'I onda (putriku kemana pergi), Nogilambung in sutara (memakai baju sutra), (berselubung kain kasa), Simindog mako ko ngara (berdiri di depan pintu), Nokogagar kong gina (hatiku tergila-gila).
Dondong: lagu gembira antara muda mudi. Ada juga yang menyanyikan waktu menidurkan anak. Contoh: Burowdon sindulak bangka' (baliklah perahu tumpangan), A baya'an kon Bintauna' (akan pergi ke Binatuna), Naanta kom bubu' im buta' (ternyata didalam tanah), A burowon dia'bi' maya' (diputar tidak berjalan). 


Yungkagi : dinyanyikan dengan suara sayup karena sedih mengenang seseorang yang dirindukan. Contoh: Akuoi ing koina subu (aku diwaktu subuh), Dinapatmai im pongoibu (hatiku sangat terharu), Polat nolabu'I lua'ku (berlinang air mataku), Nokotanob ko inimu (merindukan kau seorang).


Dete-dete, lagu yang dinyanyikan pada kematian seorang raja. Contoh: Langit lumogod lumentang (langit guruh gemuruh), Sinumobang I utuan (turunlah dari kayangan), Takin ende-endeawan (disertai hujan panas), Kinogapangan I mobangkang (karena kematian yang dipertuan).
Dende' lagu yang menyenangkan hati raja yang sedang bersantap. Contoh: Dika basi'dolandangon (jangan hanya dianggap gampang), Sin dau'tonga'ropakon (karena kayu besar hanya dipatahkan), Dika bsai'lolibogon (jangan hanya main-main), Minangain tonga'lampangon (muara sungai hanya dilangkahi).
Tantak, dinyanyikan pada akhir pelaksanaan suatu acara do'a tertentu untuk menanyakan kepada Ompu Duata apakah ada yang kurang tertib dalam pelaksanaan acara itu, agar terhindar dari sesuatu petaka.

Buyak, dinyanyikan dalam acara aimbu pada pengobatan tradisional monayuk. Biasanya dinyanyikan jauh malam menjelang pagi.
Lolibag, biasanya dinyanyikan sesudah totampit dalam acara aimbu oleh orang-orang tua masa lampau.


Ondo-ondo, sama dengan dende' yang dinyanyikan pada saat raja sedang bersantap. Juga dinyanyikan pada saat menjemput raja yang baru kembali dari perjalanan.


Tangkil, lagu dalam rangkaian lagu-lagu aimbu yang mengandung kiasan atau teka-teki.


Pantung, dilagukan sambil memetik gambus. Pantung termasuk lagu yang berasal dari daerah Melayu yang telah merakyat sehingga tidak terasa bahwa lagu tersebut berasal dari luar daerah. Dilagukan pada acara-acara gembira, biasanya dihadiri muda-mudi sampai semalam suntuk. Banyak mengandung kias bahkan yang lucu sehingga sangat menarik. Bagian akhir pantun yang disebut hayun, misalnya, Laka ule im Bolai (lihatlah di Kera), Moka’an kon toigu (sedang makan jagung), Laka ule im Bobai (lihatlah wanita), Mo ibog ko inimu (suka kepadamu)

Kamis, 01 November 2012

Pengertian Totabuan

Awal abad 20 Bolaang Mongondow, terdiri dari distrik Mongondow (Passi dan Lolayan), Onder distrik Kotabunan, Bolaang dan Dumoga. Pembagian ini dilakukan sejak pemerintah kolonial Belanda menempatkan perwakilannya (Controleur) di daerah ini.

Pada masa itu, masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman [terutama dataran tinggi di distrik Mongondow (Passi dan Lolayan)] selalu membutuhkan garam, ikan dan hasil hutan (damar) untuk kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini biasanya kaum lelakinya meninggalkan desa masuk ke hutan untuk mencari damar, atau menuju daerah pesisir pantai untuk membuat garam (modapug) dan menangkap ikan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, biasanya mereka tinggal agak lama di wilayah pesisir. Selain membuat garam dan menangkap ikan, mereka juga membuat kebun dan menanaminya dengan padi, jagung dan kelapa (tanaman ini sudah dikenal sejak zaman pemerintahan Tadohe yang diperkenalkan oleh bangsa Spanyol sekitar abad ke 17). Tanah yang di tempati inilah yang disebut Totabuan. Bila mereka telah merasa nyaman tinggal di wilayah pesisir ini, biasanya anggota keluarganya akan diboyong ikut bersama menetap di Totabuan. Semakin lama, semakin banyak kepala keluarga yang membawa anggota keluarganya ke tempat baru tersebut, akhirnya mereka mulai membentuk pedukuan baru. Tetapi pedukuan yang baru ini, tetap diawasi oleh pemerintah desa asal mereka, terutama mereka yang telah pindah secara permanen. Pedukuan yang baru ini, tidak membuat Sigi 1), hal ini menunjukkan bahwa mereka masih terikat secara adat dengan desa asal mereka di pedalaman.

Desa-desa yang memiliki Totabuan di daerah pesisir, antara lain :

No. Nama desa asal (Totabuan di)

1. Poyowa Besar (Nuangan)
2. Kobo Kecil (Nuangan)
3. Kobo Besar (Molobog)
4. Kopandakan (Buyat)
5. Otam (Nonapan)
6. Moyag (Motongkad)
7. Pobundayan (Matandoi)
8. Molinow (Tolog dan Kotabunan)
9. Passi (Poigar)
10. Biga (Tombolikat)
11. Motoboi besar (Alot, Oyuod, Matabulu)
12. Poyowa Kecil (Pinolosian)
13. Mongondow (Ayong, Sampaka, Babo)

1) Sigi (podugu), adalah semacam kuil tempat penyembahan pada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) dimana didalamnya tersimpan benda antik (mis:piring tua) yang berasal dari leluhur. Sigi merupakan simbol persatuan desa. Setiap desa ditandai dengan adanya sebuah Sigi. Pada waktu upacara monibi (upacara pengobatan desa, penyembahan kepada roh leluhur atau pengorbanan), seluruh anggota masyarakat desa turut serta. Mereka menyembelih babi, kambing betina dan ayam sebagai bentuk persembahannya dimana darahnya dipercikkan pada tangga sigi. Sigi juga berfungsi sebagai tempat penghapusan dosa bagi para pelanggar adat untuk menghilangkan aibnya.

Mengenal Sayur Daun Gedi(YONDOK)

Daun Gedi (Sayor Yondok) memiliki nama latin Hibiscus Manihot L. di negara lain juga daun gedi disebut (Philipina: Lagikuway, Thailand: Po fai, Inggris: Edible hibiscus).
Daun Gedi merupakan sayur khas di Sulawesi Utara khususnya Bolaang Mongondow karena orang Mongondow pasti tidak akan pernah lupa pada rasa nikmat masakan sayur gedi yang dikenal dengan Sayor Yondok. Dalam pengolahan sayur ini banyak resep tergantung selera masing-masing peminat, boleh memasak dengan santan atau cuma di rebus biasa dengan tambahan bumbu khas lainnya. Namun sayur gedi ini identik dengan dimasak santan ditambah rebung (oyobung), ubi talas (bete)  dan bumbu lain, kemudian ditambahkan lagi dengan ikan asin (ikang garam) sebagai teman makan sayur yondok.
Bagi orang asli Manado atau Bolaang Mongondow makan Bubur Manado (tinutuan) tidak lengkap jika tidak ditambahkan daun gedi ini sebagai campuran. Daun gedi mempunyai fungsi sebagai penambah rasa gurih serta mengentalkan. Selain lezat, daun gedi juga kaya akan vitamin A, zat besi dan serat yang baik untuk saluran pencernaan. Kolagen terkandung di dalam daun ini juga bermanfaat antioksidan dan menjaga kesehatan kulit. Mungkin karena banyak mengandung serat sehingga menyerap kolesterol dan lemak. Sehingga banyak orang berpendapat bahwa sayur ini dapat membuat orang langsing dan membantu menurunkan kadar kolesterol dan hipertensi. Namun belum ada penelitian khusus tentang hal ini.  Karena daunnya banyak mengandung banyak zat kolagen yang bersifat antioksidan, maka berguna untuk merawat kesehatan kulit dan melancarkan peredaran darah. Konon kabarnya, pada suatu masa, Pak Harto (Almarhum) senang merawat sendiri tanaman ini di rumah kediamannya di Cendana, karena beliau suka makan rebusan daun itu guna pemulihan dan perawatan kesehatannya di masa tua.


Saat ini daun gedi susah dijumpai, padahal tanaman ini sangat mudah tumbuh dan diperbanyak. Cukup stek batang dan tanam di media tanah yang gembur pasti akan tumbuh subur. Tinggi tanaman bisa mencapai dua meter dan jika tanahnya cocok akan sangat rimbun dengan daun. Daunnya hijau dan sepintas mirip daun singkong atau mariyuana, karena daunnya berbentuk 5 jari mirip daun singkong atau mariyuana.
Orang Mongondow, terutama yang ada diperantauan sering menanam daun gedi ini di pekarangan rumah atau pot agar sewaktu-waktu bila ingin memasak sudah tersedia. Memang rasa daun gedi sangat kental di lidah orang Mongondow sehingga kemana saja selalu terbayang...sayur yondok. Bukan cuma orang Mongondow saja yang terkenang dengan daun gedi ini, menurut cerita kalau ada orang luar yang pernah makan sayur daun gedi ini pasti tidak akan pernah lupa rasanya dan akan selalu mencari dimana tempat yang ada daun gedi ini. Percaya atau tidak? Wallahualam bisawab....


Berbagai Pakaian Adat Suku Mongondow

Pada masa raja-raja (Kolano) sejak raja pertama hingga raja ke-6 yaitu Mokoagow, biasanya disebut
 Datu Ireatan, karena pakaian raja ketika itu amat banyak  perhiasannya. Bahan pakaian dibuat dari kulit kayu (kayu lanut).Pakaian Raja dalam perkembangan kemudian adalah :Warna merah melambangkan kewibawaan dan keberanian raja sebagai pucuk  pimpinan pemerintahan dan sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan yang diperolehdari rakyat secara bulat kharismatis di seluruh kerajaan. Pada bagian dada dihiasi 3susun rantai emas dan kancing emas yang melukiskan keagungan raja. Pengikatkepala bercabang dua menandakan kepemimpinan yang membedakannya dengan ikatkepala bagi pejabat-pejabat pemerintah lainnya. Selempang kuning keemasan sebagaitanda keagungan raja yang diselempangkan dari bahu kiri ke pinggang kanan. Pada pinggang yang diikat dengan kain kuning keemasan, diselipkan keris dan tangan kananmemegang tongkat kebesaran (Ki Sinungkudan). Bahan pakaian sesuai aslinya adalahhasil tenun (inabol), namun alat tenun kini tidak ada lagi. Pakaian raja ini digunakansejak adanya hubungan persahabatan dengan pedagang dari luar, sehingga bentuk  pakaian sedah banyak persamaan dengan daerah lain.


1. Pakaian Permaisuri 

 Baju asli disebut salu' dari jenis kain berhias emas, pada ujung lengan baju kiri dankanan terdapat kancing emas masing-masing sebanyak 9 buah. Kain pelekat songket yang ditenun sendiri bila menurut aslinya. Pada pergelangan kanan dan kiri masing-masing dipakaikan gelang emas yang disebut pateda. Memakai selendang yang disebut aluang . Payung kerajaan warna kuning berhias emas menyatakan keagunganraja dan permaisuri (Datu' bo Boki'). Pemegang payung raja memakai baju adat denganikat kepala biasa, pada pinggang diikatkan songket yang disebut  pomerus sebagai penghormatan kepada pejabat yang lebih tinggi.

2. Pakaian Gogugu atau Sadaha tompunuon

Gogugu adalah pelaksana utama pemerintahan mewakili raja, sebagai penghubung rajadengan aparat pemerintahan lainnya sampai kepada rakyat, demikian juga sebaliknya.Dalam kerajaan hanya terdapat seorang gogugu. Bentuk baju gogugu sama denganraja, berwarna kuning sebagai lambang kebesaran dan keagungan, sesuai dengantugasnya sebagai pelaksana utama pemerintahan membawa rakyat pada kemakmuranan kesejahteraan yang di Bolaang Mongondow ditandai dngan padi dan emas yangmenguning. Selempang dan ikat pinggang sama, perbedaan pakaian raja dan goguguhanya pada ikat kepala. Ikat kepala raja berbentuk tanduk dua yang condong kekanan,sedangkan ikat kepala gogugu hanya satu tanduk.

3. Pakaian Panggulu

Seorang panggulu mengepalai pemerintahan dalam satu distrik (setingkat kecamatan).Pakaian panggulu berwarna jingga untuk membedakan dengan pakaian raja dangogugu, tapi bentuknya sama. Beberapa variasi seperti pici berhias perak sudahmerupakan pengaruh luar.

4. Pakaian kimalaha atau bobato (kepala desa)

Bentuk pakaian sama dengan raja. Warna polos menurut selera pemakainya. Ikatkepala biasa. Pada pinggang diikatkan  pomerus sebagai penghormatan kepada pejabatyang lebih tinggi. Kepala desa dapat juga memakai tongkat, sehingga dalam jabatannya biasa juga di gelar
 Ki  Sungkudan asal kata tungkud = tongkat.

5. Pakaian guhanga (kepala adat)

Baju  salu' pris berwarna polos bebas menurut selera pemakainya. Celana biasa samadengan warna baju. Memakai kain pomerus pada pinggang. Ikat kepala bercabang bila menhadiri upacara kebesaran, miaslnya menjemput tamu agung, atau pada  penobatan raja, sedang bentuk biasa bila menghadiri upacara di desa atau waktumenyelesaikan maskawin.

6. Pakaian pesta untuk petani pria

Bentuk baju dan celana sama dengan pakaian guhanga. Ikat kepala biasa tidak  bercabang. Tidak memakai
 Pomerus
.
7. Pakaian pesta untuk petani wanita

Warna baju bebas menurut selera. Baju  salu'  panjangnya sampai dibawah lutut.Selendang biasa. Kain pelekat biasa. Pada pergelangan tangan searusnya ada gelangdari tiram yang disebut bolusu.
8. Pakaian kerja petani pria
Baju tidak berlengan yang disebut
 paka'
dari kain tenunan asli namun kini digantidengan kain strep yang sejenis dengan motif tenunan asli. Celana batik dasar hitamyang banyak persamaan motifnya dengan motif tenunan asli. Ikat kepala bentuk biasatenunan asli tapi kini sudah diganti dengan batik.

9.Pakaian kerja petani wanita

Kebaycit  biasa, lengan baju disinsingkan. Memakai kudung (aluang) diatas kepalasebagai peindung dari panas matahari. Kain pelekat biasanya agak tinggi hingga betis.Biasanya ibu-ibu menyandang bakul (
kompe'
) tempat mengisi sirih pinang.

10.Pakaian nelayan pria

Sama dengan pakaian petani pria, tetapi memakai toyung (tolu). Pendududk asli yangtinggal di pedalaman, pokok pencaharian utama adalah bertani, berburu, sedangkanyang tinggal di pesisisr pantai adalah nelayan.

11. Pakaian wanita bukan pengantin

 Baju salu' warna polos bebas, pada lengan baju kiri dan kanan berkancing 5 sampai 7 buah. Kain pelekat biasa atau pelekat songket. Memakai selendang (aluang). Bagiyang mampu dapat memakai gelang emas atau perak (pateda) atau gelang dari lokan(bolusu).

12. Pakaian pengantin pria

Baju baniang warna menurut selera pemakai. Celana biasa sama warna dengan baju.Ikat kepala pengantin dari golongan bangsawan atau putra seorang pejabat boleh

JAS MERAH BOLAANG MONGONDOW


Tepat 23 Maret 2012 kemarin Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara merayakan HUTnya ke-53 yang berlangsung cukup khidmat, meriah, aman dan damai dalam kebersamaan (Insya Allah..) dibanding setahun lalu yang diwarnai kericuhan, air mata dan darah (kontroversi hasil Pilkada 2006).



Jum’at pagi yang cerah itu…. di beberapa lapangan di atas tanah Totabuan berkumpul berbagai kalangan masyarakat yang mengikuti upacara dengan khidmat laiknya upacara tujuh belas agustus-an (semoga banyak dari mereka yang mengetahui dan memahami budaya serta asal-usul tanah adat warisan leluhur tempat mereka berpijak). Masa lalu bukan untuk ditinggalkan tetapi untuk dijadikan pelajaran dalam setiap keputusan melangkah ke masa depan. Bahwa generasi muda bukan berarti harus meninggalkan masa lalu, melainkan menghargai perjuangan terdahulu. Kata Bung Karno : “JAS MERAH!” JAngan Sekali-kali MElupakan sejarAH!



Sebagai awal, di bawah ini terpapar silsilah keturunan manusia pertama di tanah Bolaang Mongondow (menurut legenda rakyat Bolaang Mongondow) yang diringkas dan dikemas dalam bentuk skema :

Keterangan :     

X   =  Menikah

 l   =  Menghasilkan


















Pada jaman dahulu, perkembangan kelompok manusia yang masih tersebar di daerah ini berlaku hukum, siapa yang kuat, cekatan, dan yang paling berani menghadapi segala tantangan dan disegani, dialah yang terplih sebagai pimpinan yang berani dan perkasa yang disebut BOGANI. Seorang bogani biasanya dibantu oleh beberapa orang sesuai formasi yang dibutuhkan. Perkembangan lebih lanjut dengan mulai adanya wilayah kekuasaan pemukiman tempat kelahiran dan kelompok di bawah pimpinan masing-masing biasanya terjadi sengketa batas rintisan yang diistilahkan dengan TOTABUAN.



Melalui pengalaman dengan adu kekuatan antara bogani dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, hanya membawa bencana kehidupan masyarakat tumbuh sistem pemilihan pimpinan secara demokrasi. Bahwa untuk memilih pimpinan berlaku “singok in lipu molantud”, pengertiannya bahwa orang banyak (Lipu = Desa) dalam suatu pendapat, adalah keputusan yang tertinggi. Sejak itu kecakapan seorang pimpinan diberlakukan istilah PUNU sebagai BOGANI MADYA dan menjelma gelar PUNU MOLANTUD sebagai tingkat BOGANI UTAMA menjadi DATU atau RAJA.



Di antara masa Datu’ Binangkang dan Datu’ Cornelis. J. Manoppo, ada beberapa raja yang juga turut memimpin di antaranya :



1.       Raja ke XI             : Salomon Manoppo (1735-1748)

2.       Raja ke XV                       : Manuel Manoppo (1779-1819)

3.       Raja ke XVIII                     : Jacobus Manuel Manoppo (1820)

4.       Raja ke XIX                       : Adrianus Cornelis Manoppo (1859-1862)

5.       Raja ke XX                        : Johanes Manuel Manoppo (1862-1880)

6.       Raja ke XXI                       : Abraham Sugeha atau Datu’ Pinonigad (1880-1893)

Nama aslinya Andi Panungkelan Lattae yang ayahnya seorang bangsawan Bugis yaitu Andi

  Latahe.

7.       Raja Riedel Manoppo (1893-1902)

8.       Datu Cornelis Manoppo (1901-1927)

9.       Raja Lauren Corelis Manoppo (1927-1938)


Pada masa dahulu juga Totabuan terdiri atas beberapa kerajaan yang dipimpin seorang raja. Lima kerajaan berpemerintahan sendiri-sendiri itu terdiri atas :

1.       Kerajaan Bolaang Mongondow

         Dipimpin Raja Riedel Manuel Manoppo yang berkedudukan di Bolaang Pantai Utara (1893-1902) dan Raja Datu Cornelis Manoppo, langsung ditetapkan pemerintah Belanda di dataran tinggi Mongondow dan membangun Kota Baru yang menjadi Kotamobagu sekarang (1901-1927).

2.       Kerajaan Bolaang Uki

Dipimpin Raja Willem Van Gobel (1872-1901) yang berkeduukan di Walugu Pantai Utara dengan penggantinya Raja Hasan Iskandar Van Gobel (1901-1941) pindah kotanya ke Molibagu 1906

3.       Kerajaan Bintauna :

Dipimpin Raja Muhammad Taroedjoe Datoensolang (1895-1948) dengan beberapa kali berpindah ibu kotanya: Panayo, Minanga, dan Pimpi di Pantai Utara.

4.       Kerajaan Bolaang Itang :


 Dipimpin Raja Bondji Pontoh (1891-1907) yang berkedudukan bu kotanya di Bolaang Itang. Penggantinya Raja Ram Suit Pontoh (1907-1950) dimana pada tahun 1910 pada saat mangkatnya Raja Antugia Korompot dari Kerajaan Kaidipang, ibu kotanya Buroko terjadi perbedaan pendapat tentang siapa keluarganya Antugia Korompot, berhak menggantikannya.

Tercapai kesepakatan berdasarkan sidang gabungan, maka dua kerajaan bergabung menjadi Kerajaan Kaidipang Besar dengan Raja I Ram Suit Pontoh (1911-1950).

5.       Kerajaan Kaidipang :

Dipimpin Raja Antugia Korompot (1897-1910) yang berkedudukan d Buroko, pantai Utara berbatasan dengan Kerajaan Atinggola di Gorontalo.


Sebagian besar dari raja-raja tersebut sangat anti kolonial, namun ada juga beberapa yang menjadi pengkhianat. Hukum adat di Totabuan dahulu berlaku yaitu agama raja adalah agama rakyat dan hal tersebut berlaku sejak jaman pemerintahan Datu’ Binangkang. Kehadiran Raja Loloda’ Mokoagouw (Datu’ Binangkang) yang sebelumnya telah memeluk agama Islam hasil didikan guru mengaji dan ilmu Al Qur’an keluaran Batu Da’a Suwawa Gorontalo sekitar 1580.


Rakyat Mongondow menganut suatu prinsip adat yang mewajibkan suatu ikatan kekerabatan yang disebut “POGOGUTAT”. Prinsip adat Pogogutat dari segi positifnya melahirkan kebiasaan tolong menolong dalam suka maupun duka dengan motto :

-                      Mototabian                       =  Saling sayang menyayangi

-                      Mototompiaan                   =  Saling nasehat menasehati

-                      Mototanoban                    =  Saling ingat mengingatkan

Kemudian membuahkan : persatuan tangguh kebersamaan dalam menghadapi kaum penjajah.



Di jaman sekarang, dalam setiap perayaan (seperti pernikahan, aqiqah, dll) maupun yang bukan perayaan seperi kedukaan, budaya pogogutat ini masih terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow. Bukan lagi bermaksud untuk menghadapi kaum penjajah, tetapi cenderung kepada kebiasaan untuk memupuk rasa persaudaraan.

Pogogutat yang dimaksud di sini misalnya jika salah satu keluarga mengadakan pernikahan atau aqiqah, maka malam hari sebelum hari “H” nya seluruh penduduk yang berada di kelurahan atau desa berkumpul dan mengantarkan berbagai bantuan dalam bentuk materi maupun bahan pokok makanan secara sukarela kepada pihak keluarga yang mengadakan perayaan, menurut kemampuan mereka masing-masing. Jika ada penduduk yang tidak mampu, maka tidak diwajibkan. Berikutnya, jika ada keluarga lain yang hendak merayakan sesuatu maka prinsip pogogutat ini pun kembali berlaku. Secara tidak langsung maka kebiasaan seperti ini cukup meringankan beban pihak keluarga penyelenggara (asal pintar mengkalkulasi saja, biar yang terjadi bukan sebaliknya). Budaya pogogutat ini juga sebagai bagian dari prinsip ekonomi bersama dan semangat gotong royong berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945.

Selasa, 30 Oktober 2012

upacara adat perkawinan di daerah Bolaang mongondow

Dengan adanya tingkat atau kelas didalam masyarakat Bolaang Mongondow , hal itu berpengaruh terhadap pelaksanaan adat istiadat seperti pada upacara perkawinan.

Pada upacara ini ,pakaian pengantin  yang biasanya dipakai oleh pengantin dari bangsa bangsawan dipakai kembali pada upacara perkawinan.

 Begiu juga mulai saat peminangan sampai saat mengantar Tali' atau biasa disebut mas kawin . Untuk Tali' tedapat perbedaam besarnya Tali' untuk membayar mas kawin dan tidak sepenuhnya dibayar dalam bentuk uang, namun sebagian berupa harta atau tanah , sawah ,kebun ,pohon kelapa yang dinamakan lakar-lakar atau barang motogat.

 Selain mas kawin maka dalam upacara ini, terdapat biaya-biaya yang timbul  atas penetapan adat yang harus dipersiapkan oleh keluarga mempelai laki-laki , antara lain :
  1.  Pongiooan adalah uang yang diberikan sebagai tanda syukur atas diterimahnya pinangan.
  2.  Potarapan adalah sejumlah atau seperangkat alat kecantikan yang dibawa serta keluarga calon mempelai  lakil-laki untuk melihat calon mempelai wanita.
  3.  Pakeang Tobaki adalah satu stel  pakaian lengkap.
  4.  Poleadan adalah sejumlah uang yang diberikan kepada calon mempelai wanita.
  5.  Guat adalah sejumlah uang yang diberikan kepada orang tua mempelai wanita atas kerelaanya melepaskan tanggung jawab terhadap anak gadisnya.
  6. Potulokan adalah sejumlah uang yang diberikan kepada orang tua mempelai wanita atas kesediaanya mengizinkan anak gadisnya mulai tinggal satu rumah dengan suaminya.     
 Setelah selesai menjankan akad nikah dan pesta perkawinan , mempelai wanita oleh keluarga laki-laki berkewajiban menjankan adat Mogama' atau menjemput membelai wanita berkunjung kerumah mempelai laki-laki.Acara Gama' ini sangat penting karena kalau tidak di Gama' konon kata masyarakat-masyrakat  Adat mengatakan mempelai wanita dianggap tabu berkunjung kerumah orang tua mempelai laki-laki.

  Selain itu , untuk menabuhkan Kulintang atau Gendang menjelang atau saat pernikahan hanya diperkenankan bagi golongan bangsawan dan Kohongian, dan bagi rakyat atau Tuang Lipu' tidak diperbolehkan kecuali ada izin langusung dari salah satu tokoh golongan bangsawan.

Rabu, 24 Oktober 2012

sejarah kota manado

 

Kota Manado merupakan pengembangan dari sebuah negeri yang bernama Pogidon. Kota Manado diperkirakan telah dikenal sejak abad ke-16. Menurut sejarah, pada abad itu jugalah Kota Manado telah didatangi oleh orang-orang dari luar negeri. Nama "Manado" daratan mulai digunakan pada tahun 1623 menggantikan nama "Pogidon" atau "Wenang". Kata Manado sendiri merupakan nama pulau disebelah pulau Bunaken, kata ini berasal dari bahasa daerah Minahasa yaitu Mana rou atau Mana dou yang dalam bahasa Indonesia berarti "di jauh". Pada tahun itu juga, tanah Minahasa-Manado mulai dikenal dan populer di antara orang-orang Eropa  dengan hasil buminya. Hal tersebut tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah.



Benteng Nieuw Amsterdam di Manado pada tahun 1920-an

Pemandangan jalan di Manado pada tahun 1910-an
Keberadaan kota Manado dimulai dari adanya besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Dengan besluit itu, Gewest Manado ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh seorang Walikota (Burgemeester). Pada tahun 1951, Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tanggal 17 April 1951, terbentuklah Dewan Perwakilan Periode 1951-1953 berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14. Pada 1953 Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya menjadi Daerah Kota Manado sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1957, Manado menjadi Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959, Kotapraja Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya Manado yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.
Hari jadi Kota Manado yang ditetapkan pada tanggal 14 Juli 1623, merupakan momentum yang mengemas tiga peristiwa bersejarah sekaligus yaitu tanggal 14 yang diambil dari peristiwa heroik yaitu peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, dimana putra daerah ini bangkit dan menentang penjajahan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kemudian bulan Juli yang diambil dari unsur yuridis yaitu bulan Juli 1919, yaitu munculnya Besluit Gubernur Jenderal tentang penetapan Gewest Manado sebagai Staatgemeente dikeluarkan dan tahun 1623 yang diambil dari unsur historis yaitu tahun dimana Kota Manado dikenal dan digunakan dalam surat-surat resmi. Berdasarkan ketiga peristiwa penting tersebut, maka tanggal 14 Juli 1989, Kota Manado merayakan HUT-nya yang ke-367. Sejak saat itu hingga sekarang tanggal tersebut terus dirayakan oleh masyarakat dan pemerintah Kota Manado sebagai hari jadi Kota Manado.

Minggu, 21 Oktober 2012

Download adobe flash cs 6

Kali ini gw mau melengkapi koleksi software adobe terbaru sob yaitu Adobe Flash CS 6. Adobe flash CS 6 Professional adalah versi terbaru adobe flash yang dapat sobat gunkan untuk membuat flash atau multimedia. Selain itu versi terbaru dari adobe flash ini juga mempunya fitur yang semakin kaya dan bagus. Selain itu efisiensi penggunaan memori pada komputer juga merupakan suatu daya tarik tersendiri pada versi terbaru dari adobe flash ini. Mau tau lebih lengkap infonya sob?

Apa itu Adobe Flash CS 6 Professional?
Adobe Flash CS 6 Professional adalah software pengolah grafis dan gambar yang dapat digunakan untuk membuat flash yang sangat professional.

Fitur-fitur Adobe Flash CS 6 Professional:
1. Editor flash yang lengkap
2. Animasi dan efek yang banyak
3. GUI yang menarik dan mudah
4. Editor dan compiling yang canggih
5. Addon dan plugin yang bervariasi
6. Dan fitur tambahan lainnya sob
Nah silahkan di update versi adobe flash sobat dijamin versi terbaru Adobe Flash CS 6 Professional ini akan membuat pengerjaan membuat flash akan semakin mudah.


Adobe Flash CS 6 Professional | Size: 1,3 GB
Download
password : www.ad4msan.com

Kamis, 23 Agustus 2012

7 Taman Nasional Terindah di Dunia

 

1. Snowdonia National Park, Wales, Great Britain
Taman nasional Snowdonia yang terletak di Wales, Inggris Raya ini mempunyai luas sekitar 2,170 km2. Taman nasional ini teretak di ketinggian 1,085 m di Gunung Snowdon. Perlu dikeahui, Snowdon adalah gunung tertinggi di inggris. Taman Nasional ini mempunyai pemandangan yang sangat indah, dan memberikan kesan "damai" kepada para pengunjungnya.
http://img24.imageshack.us/img24/935/1snowdonianationalpark.jpg

2. Grand Canyon National Park, Arizona
Nama Grand canyon sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga para kaskuser. yup, Grand Canyon adalah sebuah jurang tebing-terjal, diukir oleh Sungai Colorado, di utara Arizona. Jurang ini merupakan satu dari Tujuh Keajaiban Dunia dan sebagian besar berada di Taman Nasional Grand Canyon; salah satu taman nasional pertama di Amerika Serikat. Jurang yang terbentuk sepanjang 446 km dan mempunyai lebar 6 - 29 Km dengan kedalaman 1.600 m. Grand Canyon pertama kali dilihat oleh orang Eropa pada 1540, García López de Cárdenas dari Spanyol.
http://img25.imageshack.us/img25/9440/2tamannasionalgrandcany.jpg

3. Kruger National Park, South Africa
Taman Nasional Kruger merupakan yang terbesar di Afrika. Taman nasional ini terdiri dari area seluas 18.989 Km2. Disini para pengunjung mendapatkan kesempatan untuk melihat Mamalia dan Burung khas afrika dalam jumlah yang besar. Taman nasional ini juga terkenal dengan video "Battle at Kruger", sebuah video amatir berdurasi 8 menit yang menggambarkan pertarungan antara sekawanan Buffalo beberapa Singa dan Buaya.
http://img339.imageshack.us/img339/448/3krugernationalparksout.jpg

4. Deosai National Park
Taman Nasional Deosai terletak di Skardu, Pakistan. Taman Nasional ini terletak di lembah Deosai (4,114 dpl), yang berada diantara dataran tertinggi dunia. Deosai terkenal dengan musim semi ketika itu ditutupi oleh hamparan jutaan bunga dan berbagai macam kupu-kupu.
http://img4.imageshack.us/img4/4796/4deosainationalpark2.jpg

5. Kakadu National Park, Northern Territory, Australia
Merupakan Salah satu Situs Warisan Dunia, Taman nasional ini di kelola secara bersama- sama oleh Suku Aborigin dan Pemerintah Australia. Kakandu mempunyai pemandangan yang indah, air terjun besar dan seni batuan suku Aborigin. Satu lagi, Kakandu merupakan habitat asli Buaya air asin.
http://img341.imageshack.us/img341/1600/5kakadunationalpark3.jpg

6. Iguazu National Park Argentina
Taman Nasional ini melindungi salahsatu pemandangan paling spektakuler di Argentina dan Brazil, Air Terjun Iguazu dan Hutan Sub tropis. Situs ini dijadikan World Heritage Sites oleh UNESCO pada tahun 1984. Salah satu pengalaman yang akan didapatkan di Taman Nasional ini adalah sensasi menaiki sekoci disekitar "ratusan air terjun kecil"
http://img140.imageshack.us/img140/6185/6iguazunationalparkarge.jpg


7. Madain Saley National Historic Park, Saudi Arabia
Madain Shaleh adalah kota kuno yang terletak di wilayah utara Hejaz (saat ini Arab Saudi), sekitar 25 km dari utara kota Al-'Ula. Pada 500SM sampai 100M, orang-orang Nabatean menciptakan kuburan dengan cara memotong muka batuan.

Sepatu Anggota Paskibra Kotamobagu copot


 
INSIDEN KEMERDEKAAN: Tampak kaki kanan Lestari Lantah tidak lagi memakai sepatu. Namun, tetap serius dan konsentrasi untuk menyelesaikan tugas kenegaraan.
KOTAMOBAGU— Salah seorang anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) Kotamobagu mengalami insiden saat upacara peringatan HUT ke-67 Kemerdekaan RI, di Lapangan Kotamobagu, kemarin. Sepatu sebelah kanan, lepas. Sepatu itu dibiarkan begitu saja dan menjadi perhatian peserta upacara. Kejadian ini sama saat anggota Paskibra Bima, Nusa Tenggara Barat, 2010 lalu.

Lestari Lantah, anggota Paskibra yang bertugas mengiringi pasukan 17. Saat memasuki Lapangan Kotamobagu dan menerima bendera merah putih yang akan dikibarkan dari Inspektur Upacara (Irup) semuanya tampak normal. Sepatu siswa kelas II SMA Negeri 3 Kotamobagu itu, terlepas saat pembentukan formasi barisan.  

Meski demikian, Lestari tetap berkonsentrasi menuntaskan tugasnya sampai merah putih berkibar. Ia tetap menyatukan gerakan kaki dan tangannya bersama tim Paskibra. Beruntung, Lapangan Kotamobagu dilapisi rumput tebal, sehingga mengurangi sakit di kaki. Hingga keseluruhan rangkaian upacara, sepatu kanan Lestari tetap dibiarkan di tengah lapangan. Peserta upacara memberikan aplaus atas kesuksesan Paskibra.

Diwawancarai usai upacara, mata Lestari terlihat berkaca-kaca. Namun, bukan karena sepatunya yang lepas, tetapi apresiasi dari para pelatih. “Saya sangat bersyukur, kami dinyatakan sukses mengibarkan bendera merah putih. Soal sepatu saya, pelatih katakan itu tidak masalah,” ujarnya.

Ia menambahkan, insiden itu bukan sesuatu yang disengaja. “Memang sempat canggung juga, karena pijakan kaki tidak sama lagi, tapi karena selama latihan kita diajarkan disiplin dan tidak membuat gerakan tambahan, sehingga saya tetap konsentrasi,” sebutnya.

Terpisah, Rustam Korompot, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Purna Paskibra Indonesia (PPI) Kotamobagu yang juga koordinator pelatih Paskibra, menilai insiden seperti itu terbilang biasa. “Paskibraka nasional juga pernah mengalami kejadian dalam tugas. Asalkan tidak membuat gerakan tambahan. Itu yang membuat kami (pelatih) memberikan apresiasi,” kata Rustam.(fir)

sumber:http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=114583

Sabtu, 04 Agustus 2012

jasa pembuatan website di kota kotamobagu

  Saat ini pengguna internet sudah mencapai lebih dari 30% dari jumlah penduduk Indonesia,dimana itu berarti Internet adalah sebuah peluang yang sangat besar untuk membuat bisnis kita menjadi jauh lebih maju dan dikenal oleh seluruh masyarakat seluruh Indonesia,bahkan seluruh dunia!


Jalan terbaik untuk memasarkan bisnis kita didunia Internet adalah dengan menggunakan Website dan Blog.Saya menawarkan jasa pembuatan Website dan Blog yang :
  1.  PROFESIONAL
  2.  ELEGAN
  3.  MENARIK
  4.  MURAH - TAPI NGGA MURAHAN
More Contact :

email   : chandra_pinuyut@yahoo.co.id
phone  : 087846718985

Selasa, 15 Mei 2012

Sejarah Kabupaten Bolaang mongondow

Penduduk asli Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta
Tumotoibokol dan Tumotoibokat, awalnya mereka tinggal di gunung Komasaan (Bintauna). Kemudian
menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu
in Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa
perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9.
Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau
golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari
kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan.
Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi
tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu.
Daerah pedalaman sering disebut dengan ‘rata Mongondow’. Dengan bersatunya seluruh
kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai maupun yang berada di
pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan Raja Tadohe, maka daerah ini dinamakan Bolaang
Mongondow.
Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau
perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan : memiliki kemampuan fisik
(kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok
dan keselamatan dari gangguan musuh.
Mokodoludut adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh bogani.
Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak Tompunu’on pertama sampai ketujuh,
keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total
mulai terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu’on, akibat pengaruh pedagang Belanda dirubah istilah
Tompunu’on menjadi Datu (Raja).
Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur dengan mulai
dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokoagow
(ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan
(Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan
Kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’ melalui pembangunan disegala bidang, sedangkan
kepala desa dipilih oleh rakyat.
Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya
masing-masing, dan dibentuk sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang,
Mongondow (Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow. Di
masa ini mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan.
Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk
daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan
putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai
agama raja, sehingga sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut mempengaruhi
perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Sekitar tahun 1867 seluruh
penduduk Bolaang Mongondow sudah menjadi satu dalam bahasa, adat dan kebiasaan yang sama
(menurut N.P Wilken dan J.A.Schwarz).
Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius Veenhuizen
bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk Bolaang Mongondow
melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo dengan kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel
Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda
melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja) di Kotobangon
pada tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow dan berjumlah
41.417 jiwa.
Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W.
Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga kelas yang dikelola oleh zending
di beberapa desa; yakni : desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi,
Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total
murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa.
Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School
(sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun.
Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat
Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat
kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan
pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915.
Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai
mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan
tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan
secara konvensional.
Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga macam cara kehidupan bergotong
royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yaitu : Pogogutat
(potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun
cara pelaksanaaannya agak berbeda.
Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya
masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan.
Dalam mencari rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam
mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat
diartikan sebagai tempat mencari nafkah.
Bila ada tamu yang bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria
atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari kebiasaan ini diciptakan
tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat terutama pejabat di jemput dengan
upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini tetap lestari di bumi Totabuan.
Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam diantaranya tarian tradisional yang
terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian
kreasi baru seperti Tari Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari
Kikoyog dan Tari Mokosambe.
Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan
istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya).
Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah
1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan
di desa Kembang Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang
(1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan Pusian/Serasi
(1992/1993). lengkap
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian wilayah Propinsi
Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow
dipisahkan menjadi daerah otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang
mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri
berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23 Maret seluruh
rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT Kabupaten Bolaang Mongondow.
Seiring dengan Nuansa Reformasi dan Otonomi Daerah, telah dilakukan pemekaran wilayah
dengan terbentuknya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara melalui Undang-Undang RI No. 10 Tahun
2007 dan Kota Kotamobagu melalui Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2007 sebagai hasil pemekaran
dari Kabupaten Bolaang Mongondow.
Tujuan utama pembentukan Kab. Bolmong Utara dan Kota Kotamobagu adalah untuk
memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan, dan memobilisasi
pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat totabuan.
 
sumber :http://bolmong.go.id

Sejarah kabupaten sanghie talaud

 I. Asal-Usul Penduduk Sangihe Talaud (versi Buku Suendumang)

 

Bila ditelusuri dari asal-usul keturunannya atau yang disebut silsilah, maka nenek moyang penduduk daerah Sangihe Talaud semuanya berasal dari tempat lain yang datang melalui lautan, lalu menetap di daerah tersebut, mereka adalah:
  1. Ras Apapuang (yang paling awal), konon ceritanya berasal dari Bangsa Negrito;
  2. Ras yang berasal dari Saranggani, Mindanao Selatan;
  3. Ras dari daratan Merano, Mondanao Tengah;
  4. Ras dari Kepl. Sulu (sebagian kecil adalah raksasa);
  5. Ras dari Kedatuan Bowentehu + Manado Tua, dimana ras ini berasal dari Molibagu (Bolangitam).

Dari kelima ras diatas, hanya ras no. 1 dan no. 5 yang suka perdamaian, sedang ras no. 2, 3 dan 4 termasuk ras yang gemar berperang. Namun demikian sesuai keyakinan, mereka enggan memulai tapi bersifat menunggu, nanti membalas serangan yang datang dari lautan, utamanya musuh bubuyutan dari bajak-bajak laut dari Kepl. Sulu.
Selain itu para leluhur, suka hidup bertolong-tolongan (métawang/makitawang), suka bekerja gotong-royong (métatondong munara), patuh pada perintah pimpinan asalkan jangan ditekan, gemar berdendang sementara berperahu (mésambo), berdendang sambil mencukur kelapa untuk dibuat minyak kelapa (mékalumpang), berdendang sambil menuai kebun padi ladang dan gemar sekali minum tuak atau saguer.
Jika terjadi pertikaian berdarah antara penduduk di daerah pada waktu itu, hal itu kebanyakan dipicu oleh pembalasan dendam atau menuntut bela. Contohnya
  1. Datuk Makaampo-Bawengehé sebelum jadi raja/datu di Kedatuan Tawukang-Dimpulaeng, kira-kira tahun 1520 pergi menyerang penduduk pulau-pulua Nanusa, karena orang-orang pulau Nanusa-Talaud, menangkap dan membunuh Tangkuliwutang (ayahnya), yang sementara memancing di sekitar Rainis, karena Naboisan ibu Makaampo dengan Panurat adiknya berdiam di Rainis.
    1. Pertikaian berdarah antara kerajaan Tahuna dengan kerajaan Manganitu yang dimulai tahun 1645, merupakan sengketa batas kerajaan.
      Buntuang raja Tahuna ke-2 memindahkan kubunya dari Bukide ke gunung Séhengbalira, padahal Séhengbalira waktu itu adalah wilayah Manganitu.
      Tolo pendiri kedatuan Manganitu gugur karena dikhianati oleh Alahungbeli (budak raja Tolo sendiri), yang jadi kaki tangan raja Tahuna. Sedangkan dari kerajaan Tahuna, Hulubalang Pulungtumbagé dapat dikecoh oleh pendekar Lantemona, lalu jatuh tenggelam dalam rawa yang dalam, sampai rambutnya tidak nampak dari permukaan rawa Manganitu, yang sampai sekarang disebut Bonohangsaghu.

II. Latar Belakang Sejarah Daerah Sangihe Talaude (versi Suendumang)

 

Sebelum digabung, daerah ini terdiri dari dua gugusan kepulauan, yaitu: Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaude.Yang disebut Kepulauan Sangihe meliputi Pulau Taghulandang dengan pulau-pulau kecil disekelilingnya; Pulau Siau dengan pulau-pulau kecil disekelilingnya dan Pulau Sangihe Besar dengan pulau-pulau kecil disekelilingnya.
Sedangkan yang disebut dengan Kepuluan Talaude ialah: Pulau Karakelang, Pulau Salibabu, Pulau Kabaruan dan Pulau-Pulau Nunusa termasuk Pulau Miangas.
Pemerintahan pada dua gugusan kepulauan ini sebelm penjajahan adalah sebagai berikut:
Di Kepulauan Sangihe, pada akhir abad ke-XVII, pemerintahan berhubungan dengan Kesultanan Ternate, tapi sebelum waktu itu adalah pemerintahan yang merdeka.
Sedangkan Kepulauan Talaude berhubungan dengan Kerajaan Mojopahit.  Hal ini terlihat dalam syair Prapanca pada Kitab Negarakartagama pada Zaman Gajahmada (th. 1364), bahwa Talaud didalam syair bahasa Jawa tersebut disebut sebagai Udamakatrayadhi atau Udamakatraya. (buku Mr. M. Yamin yang berjudul Gajahmada Pahlawan Persatuan Nusantara, hal. 48-50).
Penggabungan dua gugusan kepulauan ini, yaitu Kepl. Sangihe dan Kepl. Talaude sehingga menjadi Sangihe Talaude nanti terjadi pada abad ke XVIII, setelah Kepl. Talaude tahun 1779 ditemukan oleh bangsa Belanda dan secara resmi disebut Daerah / Kepulauan Sangihe-Talaud.
Derah Sangihe Talaud dimasukkan ke dalam keresidenan Manado, nanti pada tahun 1825, yaitu setelah seluruh kepulauan ini dilepaskan dari Kesultanan Ternate, sehingga dengan keadaan ini maka penetapan raja-raja mulai tahun 1825 sudah bukan lagi di Ternate, melainkan di Manado.


sumber : http://sitaro.wordpress.com

 

Sejarah kabupaten Minahasa

Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi, yang mencakup luas 27.515 km persegi, dan terdiri dari empat daerah, yaitu: Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut. Terdapat berbagai tumbuhan seperti kelapa dan kebun-kebun cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Kuskus, Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).

Etimology Minahasa

Nama dari tanah Minahasa telah diubah beberapa kali: Batacina-Malesung-Minaesa dan akhirnya nama saat Minahasa yang artinya "menjadi satu kesatuan". Nama ini berasal dari perang melawan Kerajaan Bolaang Mangondow selatan. Namun, sumber lain menyebutkan bahwa nama asli Minahasa Malesung, yang berarti "padi berputar", kemudian diubah menjadi Se Mahasa, yang berarti "mereka yang menyatukan," dan akhirnya Minahasa, artinya [3] "menjadi satu kesatuan."

Kerajaan dan Pemerintahan

Pemerintahan kerajaan di Sulawesi Utara berkembang menjadi kerajaan besar yang memiliki pengaruh luas ke luar Sulawesi atau ke Maluku. Pada 670, para pemimpin suku-suku yang berbeda, yang semua berbicara bahasa yang berbeda, bertemu dengan sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang akan membentuk satu unit dan tetap bersama dan akan melawan setiap musuh luar jika mereka diserang. Bagian anak Suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan.

timologi


Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano), Tonsawang, Ponosakan, Pasan, dan Bantik.
Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".
Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "Tonaas" di Watu Pinawetengan (Batu Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku Ponosakan (meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.

Asal Usul Orang Minahasa

Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. [6] orang Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. [7]
Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya, keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.
Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.
Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena berbagai konflik di daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Orang-orang ini karena itu disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air). Danau ini adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.
Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay. Ini merupakan nenek moyang dari subethnic Pasam-Bangko (Ratahan Dan pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage. Ini adalah Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada 1670 dan menjadi walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mangondow- dan akhirnya ke tempat Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Bantik subethnic.
Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:
Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan), Ponosakan, Babontehu, Bantik.
Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.
Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa Bolaang Mangondow berperang melawan. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Mangondow Bolaang adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay).


Sejarah


Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut sekitar abad 1 (pertama) pemukiman leluhur terlebih dulu berdiam di sekitar pesisir Likupang, lalu berpindah ke pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan berpindah ke Nieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini). Pada masa ini pemerintahan menggunakan sistem kerajaan. Seorang raja bertahta berdasarkan garis keturunan.
Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.
Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.
Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow (2x9) : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu (9x7) : Rakyat
Pembagian golongan berdasarkan keturunan darah. Ketika hadir pemimpin yang semakin lama pemerintahan semakin korup dan sewenang-wenang, maka terjadilah revolusi rakyat yang menggulingkan pemerintahan monarki.

Prasasti Pinawetengan

Batu Pinawetengan terletak didesa Tompaso. Merupakan batu alam yang diatasnya ditulis dengan huruf hieroglif, yang sampai kini masih belum terpecahkan cara membacanya. Batu ini merupakan tempat diadakannya Musyawarah Perdamaian keturunan Toar dan menjadi tonggak Sejarah perubahan sistem pemerintahan pada keturunan Toar Lumimuut. Menurut Paulus Lumoindong Musyawarah ini terjadi sekitar tahun 300-400 Masehi. Menurut David DS Lumoindong, bahkan penulisan Prasasti ini sejajar atau bahkan lebih tua dari Prasasti Kutai tahun 450 M. Isi tulisan ini menurut Tuturan Sastra Maeres ini berisi Musyawarah Pembagian Wilayah, Deklarasi untuk tetap menjaga kesatuan..

Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahn

Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama).
Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Menurut Paulus Lumoindong peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500 Masehi.
Hasil riset Dr. J.P.G. Riedel, bahwa hal tersebut terjadi sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa.
Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.
Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara Anak suku Toulour : menuju timur (atep) Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besarPada saat itu daratan minahasa belum dipadati penduduk, baru beberapa daerah yang dipadati penduduk, di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia, Kalawatan. Perkembangan anak suku seperti anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik.



Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Jepang

Perjuangan Minahasa untuk merdeka sejak tahun 1808 terus berkobar dan mulai mengobarkan perang gerilya ke seluruh Indonesia. Para pejuang Minahasa masuk ke pasukan Belanda untuk mempelajari segala hal demi menyusun kekuatan besar yang akhirnya dapat memenangkan perang. Di era menjelang Kemerdekaan Indonesia, gerakan perjuangan orang Minahasa telah bergerak secara nasional dengan memanfaatkan segala fasilitas Belanda dan Jepang. Orang minahasa membangun Pasukan Kristen, Perkumpulan para cendekiawan, perkumpulan budaya. Minahasa berhasil mendapatkan kepercayaan Belanda, bahlan pemimpin-pemimpin pasukan belanda dipercayakan pada orang minahasa, seperti Pasukan KNIL. Jabatan yang dipegang orang Minahasa merupakan kekuatan besar yang bersatu dengan para pejuang dari daerah lainnya sehingga Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh besar yang sangat berjasa melahirkan bangsa Indonesian diantaranya Dr.G.S.J.Sam Ratulangi, A.Maramis, Kawilarang, Ventje Sumual,
Ada sebagian kecil orang Minahasa yang memakai marga Jepang karena beberapa orang Minahasa yang menikah dengan orang Jepang. Tanah Minahasa pada zaman purba disebut sebagai [Tanah Malesung] karena bentuknya seperti lesung atau tanah yang berlembah dan bergelombang. Slogan Minahasa: "Si Tou Tumou Tou" yang artinya manusia hidup untuk memanusiakan manusia yang lain, dengan slogan perjuangan "I Yayat U Santi" yang artinya maju untuk membangun negeri.

sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Minahasa